Cerpen ini aku tulis tahun 2012 namun baru sekarang sempat di publis.Cerita ini 100% adalah fiksi dan khayalan penulis. Semoga menghibur :)
Ceritaku dan Rizal
oleh : Asrida Saskia
Novarida
Setelah beberapa menit berkendara. Temanku memintaku
berhenti disebuat apotik.
“Berhenti disini. Ini
apotiknya.”katanya seraya menepuk-nepuk pundakku pelan.
“Oh..disini.”jawabku, lalu dengan santai aku
menurunkan kecepatan dan mengehentikan laju kendaraan di tempat parkir apotik
itu, tepat di depan apotik itu.
“Tunggu disini sebentar. Tidak lama kok.”katanya
lalu lekas turun menuju apotik itu. Aku melihat dia menaikki 3 anak tangga dan
berbaur bersama pengantri lainnya.
Hari hampir sore. Aku masih menunggu
temanku mengantri obat di apotik. Tepatnya di sebuah apotik di Jalan Serma
Zakaria pasar atas Baturaja. Kusandarkan
tubuhku di motor bebek merahku. Kutatap kakiku, lalu menyilangkan kedua
tanganku di depan dada. Entahlah sudah berapa kali aku mengganti posisi kakiku.
Tak lama datanglah beberapa anak datang mendekati apotik itu. Mereka mulai
masuk kedalam.
“Pak, semir Pak..” anak-anak itu menawarkan jasa
mereka kepada orang-orang yang ada disana.
Kupandangi mereka, sambil sesekali aku pura-pura tak
melihat mereka. Pakaian mereka terlihat asal-asalan. Ada yang memakai celana
seragam SD, baju olahraga sekolah mereka, ataupun pakaian yang kelihatan
kebesaran untuk badan mereka yang kurus. Mereka membawa tas kecil lalu
diselempang ke tubuh.
“Bang! semir Bang! Sudah kotor sepatunya.”salah satu
dari anak-anak itu menghampiriku, dia
berkata dengan nada yang menurutku sedikit kasar. Tampaknya dia adalah anak
tertua dari pada yang lain. Wajanya lebih mirip preman ketimbang tukang semir
jalanan.
“Tidak dik.” jawabku singkat. Aku benar-benar tidak
suka dengan cara bicaranya. Nampaknya dia terlihat agak kesal dengan jawabanku.
“Ayolah kak..sini aku liat dulu sepatunya.” Kini dia
berjongkok dan mencoba melepaskan sepatu yang menutupi kakiku. Tentu saja,
dengan sigap aku menarik kaki kananku itu.
“Sudahlah dik, tidak perlu!” aku mulai meninggikan
nada suaraku, namun masih bisa mengendalikan emosiku.
Dia nampak kaget lalu lekas berdiri. Dilemparkannya
tatapan sinis ke arahku. Lalu berjalan menjauh. Dia tidak bergabung dengan
teman lagi, mataku mengikutinya sampai bayangannya hilang di ujung lorong dekat
apotik itu.
“Kenapa anak itu, seperti berandalan sikapnya.”batinku,
lalu kuhembuskan nafas.
“Kak..boleh tidak saya semir sepatunya?” seorang
bocah mengangetkanku. Mataku langsung beralih matanya. Mataku terperangkap
dengan mata lirih anak itu. Sejenak aku terdiam. Aku menerka-nerka umurnya.
Kukira masih sekitar 7 atau 8 tahun. Bajunya sangat tak layak pakai. Ada sobek
disana sini. Sendal yang dikenakannya pun beda sebelah, satu berwarna kuning
dan satu lagi berwarna putih kusam.
“Kak? Boleh tidak?” dia mengulangi pertanyaannya,
menyadari bahwa aku terdiam melihatnya.
“Ah..tidak usah dik.” Aku menjawab seramah mungkin.
Tak terbayang olehku jika anak ini aku. Apa anak ini tidak sekolah? Kemana
orang tuanya?. Begitu banyak pertanyaan berkecambuk dipikiranku. Aku tak menyadari
mata anak itu berubah menjadi redup dan gelisah.
“Untuk kakak akan kuberi setengah harga, dari harga
biasa. Aku bisa susah jika tak membawa uang.”katanya lagi. Ah! Jadi dia ingin
mengemis?
“Sudahlah. Jangan menipuku, aku sudah sering bertemu
dengan orang yang memelas untuk mencari uang.”kataku ketus. Setidaknya aku
ingin memberi sedikit pelajaran untuknya.
“Astagfirullah..jika kakak tidak ingin saya semir
sepatunya tidak apa-apa. Tapi kakak jangan berburuk sangka.”jawab bocah itu
lalu berlalu mencari orang lain untuk disemir sepatunya. Mataku terbelalak,
anak sekecil ini menceramahiku?
Mataku mengikutinya. Sekarang bocah itu tengah
tersenyum lembut menyemir sepatu Pak tua. Semakin membuat hati ini terhenyak.
“Fa..Fa..Daffa!” aku tak sadar temanku, Ali
Nugraha, telah berada di depanku dan melambai-lambaikan tangannya di depan
wajahku.
“Ah! iya iya..kenapa Ga? Sudah selesai?”tanyaku
cepat.
“Kok kamu benggong? Sedang melihat apa?” Nugraha
kini ikut-ikutan melihat anak kecil yang sedang menyemir sepatu itu.
“Loh? Itu kan anak yang biasanya nganterin Koran
kerumah. Jadi dia tukang semir juga?”ujar Nugraha. Aku cepat-cepat menoleh
kearahnya. Loper Koran katanya?.
“Serius kau? “tanyaku tak percaya. Mataku
terbelalak. Teringat lagi kejadian beberapa menit yang lalu. Saat aku menolak
jasa semirnya.
“Iya, kalo tidak salah namanya Rizal. Dia yatim
piatu, dia pernah cerita padaku. Terus dia bilang, sekarang dia tinggal dengan Pamannya
di daerah pasar pucuk.”jelas Nugraha.
Alangkah malunya! Betul-betul memalukkan raga ini. Seharusnya
aku yang diberi pelajaran. Dengan angkuhnya aku berkata bahwa dia bermaksud
menipuku. Aku mengusap-ngusap wajahku. Sungguh aku malu dengan perbuatanku
terhadap anak itu. Saat aku seumuran dengannya, hanya dengan menanggis maka
orang tuaku akan memberikan apa yang ku mau. Sedangkan dia? Harus kerja
banting tulang untuk memenuhi kehidupan
sehari-harinya. Miris.
****
Terik mentari terasa sangat panas di permukaan
kulitku Rasanya sang surya itu berada tepat diatas kepalaku. Aku tengah
mengendari sepeda motorku, dalam perjalanan pulang kerumah sehabis bekerja
sebagai sales di sebuah dealer motor di Baturaja.
Seperti biasa, jika pulang aku akan melewati taman
kota Baturaja dan rumah sakit umum. Meskipun di hari yang panas seperti ini,
jalanan tak sepi. Banyak pedagang yang berjualan di sekitar area rumah sakit.
Aku tidak memperdulikan hal ini sedikitpun. Aku memainkan gas motorku dan yang
ada dipikiranku hanya satu, pulang dan tidur.
Motorku membawaku mendekati gedung DPR OKU yang
notabene masih berada didekat taman kota Baturaja. Aku mulai memelankan laju
motorku. Ada keributan kecil di pinggir jalan depan kantor DPR OKU itu. Rasa
penasaran menggelitik sanubariku. Tak kuasa aku menahan diri untuk ikut
memarkirkan motorku dan bergabung dalam kerumunan itu.
“Bawa ke rumah sakit saja Pak.”
“Sepertinya akan semakin parah.”
“Apa ada yang mengenalnya.”
“Kasian sekali….”
Ku dengar kerumunan itu berbicara.Sepertinya
kecelakaan, siapa korbannya? Aku terus menerka dalam hati. Langkahku semakin
dekat menuju sumber keributan kecil itu. Dan….
“Astagfirullahal’azim! Rizal!” aku menjerit spontan.
Wajahku berubah pucat, kakiku sedikit gemetar.
Kutegarkan diri dan melangkah menuju tubuh yang tengah dirangkul oleh seorang
bapak-bapak berkumis tebal. Kulihat dengan jelas, tubuh mungil itu tengah
tergeletak. Dengan darah segar mengalir dari pelipis matanya. Terlihat luka
disana-sini. Didekatnya nampak banyak bekas gelas air mineral, aku tak mengerti
apa yang terjadi.
“Anda keluarganya?”Bapak berkumis tebal itu
memananyaiku yang sedang kebinggungan.
“Ahh…Ah..Bu..Bukan Pak! Tapi saya tau siapa anak
ini. Akan saya jelaskan nanti, sekarang tolong kita selamatkan nyawanya.”dengan
tak sabar kugendong tubuh Rizal yang ringan itu.
“Nak, sebaiknya masuk ke mobil Bapak saja.”tawar
Bapak itu. Aku segera setuju dan meminta Bapak itu untuk mengantarnya kesana dan
aku di belakangnya mengendarai motorku. Rumah sakit tak begitu jauh dari gedung
DPR. Hanya butuh waktu sekitar 7 menit untuk sampai dengan mengendarai
kendaraan.
Kami sampai di Rumah Sakit umum terdekat. Aku
bergegas memarkikan motorku dan berlari menuju mobil tempat Rizal dibawa.
Dengan tak sabar kugendong tubuh Rizal, dan belari
membawanya masuk ke Rumah Sakit itu. Bapak berkumis tebal itu pun juga
mengikutiku dari belakang. Syukurlah..kurasa Bapak ini bukanlah orang yang tak
tau rasa kasihan. Aku membawa Rizal ke ruang IGD.
Seorang perawat memberiku instruksi untuk membaringkan
tubuh Rizal pelan. Kubaringkan perlahan Rizal yang pingsan diatas ranjang
beroda. Perawat itu mulai memeriksan keadaannya.Dia membersihkan luka-luka di
tubuh Rizal dengan sebuah cairan khusus. Lalu perawat lain menghampiri kami.
“Mohon ditunggu sebentar dokter akan segera
datang.”ujar perawat itu pada kami.
Maka tak lama seorang dokter datang. Dia mengenakan
jilbab dan berkacamata. Wajahnya sungguh bersahaja. Dengan sigap di memeriksa
ulang keadaan Rizal.
“Tutup pendarahannya.”perintah sang Dokter. Para
perawat langsung mengerti dan menyiapkan beberapa alat medis untuk melakukan
operasi itu.
Aku pernah melihat ini di film-film, dan rasanya tak
percaya jika aku harus melihat langsung kejadian ini. Kulihat jarum suntik
ditancapkan pada lengan Rizal, nampaknya itu obat bius. Entahlah aku tak begitu
paham masalah medis.
“Nak, saya tidak tahan melihat yang seperti ini. Bau
alkoholnya pun menusuk-nusuk hidung saya. Bisakah kita keluar?”Bapak yang
bersama ku tadi menegur dalam lamumanku.
“Baik Pak.”aku menurut dan kami keluar dari ruangan
yang sedikit menegangkan itu.
Kami sama-sama duduk di ruang tunggu pada rumah
sakit itu. Kursi di sini terlihat usang. Warna hijaunya tak tampak lagi seperti
warna hijau.
“Sebelumnya perkenalkan, nama saya Hardiman.”ujar
sang Bapak memulai percakapan. Ah! Rupanya Bapak ini namanya Hardiman, Untung
saja aku tak memanggilnya Bapak kumis tebal.
“Iya Pak, nama saya Daffa Pak.”aku menyalami tangan
Bapak itu.
“Kalo boleh Bapak tau, Daffa ini kenal anak itu
darimana?”tanya Pak Hardiman kepadaku.
“Dia seorang loper koran dan tukang semir sepatu
Pak. Saya pernah bertemu dengannya sebelum ini.”jelasku. Terbersit lagi
kejadian saat aku tengah di apotik bersama temanku.
“Maaf Pak, sebenarnya bagaimana kejadian kecelakaan
Rizal bisa terjadi?”tanyaku. Aku sangat ingin tau.
“Saya juga kurang paham. Kata orang-orang tadi,
Rizal ini korban tabrak lari. Ada yang bilang anak ini mencari gelas air minum
kosong, dan saat ingin menyebrang sebuah motor melaju kencang lalu menabrak
Rizal. Bapak juga sama dengan kamu, penasaran dan memakirkan mobil untuk
melihat apa yang terjadi itu. Sungguh mmengecewakan. Tak ada dari mereka yang
berani menyentuh tubuh anak yang kau sebut Rizal itu. Mereka takut disusahkan.
Tampaknya bangsa ini perlahan mulai kehilangan karakter diri.”jelas Pak
Hardiman panjang lebar. Matanya menerawang jauh.
Aku ikutan terdiam. Lalu kutatap lengan baju
kemejaku yang panjang. Masih nampak bekas darah yang sedikit mengering di tanganku.
“Apa rasa kasihan mereka telah luntur? Apa tak
pernah membayangkan jadi anak ini? Aku pernah menolak jasa semirnya dan aku
menyesal sekarang. Mungkinkah mereka juga akan merasakan hal yang sama nanti.
Menyesalkah mereka nanti?”mulutku tanpa sadar mengeluarkan kata-kata. Tatapan
mataku kosong, tangan kukepal kuat-kuat. Ada perasaan kesal, sedih dan khawatir
yang saling berkecamuk.
“Allah itu maha adil nak, Dia akan memberikan kita
yang terbaik dan setiap yang kita perbuat meskipun hanya sebesar biji sawi maka
niscaya akan dibalas jua oleh-Nya.”Pak Hardiman mengelus pundakku pelan. Aku
mengerti, beliau mencoba menenangkanku. Aku mengangguk pelan.
“Pak. Bapak keluarga dari anak tadi?”seorang perawat
yang memeriksa Rizal tadi datang menghampiri kami.
“Kami ini kenalannya. Dia sudah tak punya orang tua
lagi mbak.”jelasku hati-hati.
“Hmm, baik. Silahkan masuk kedalam kami telah
selesai.”perawat itu masuk kembali keruangan itu. Diikuti oleh aku lalu Pak
Hardiman dibelakangnya. Kami masuk, kepala Rizal dibalut perban. Wajahnya juga
terlihat pucat. Sang Dokter mempersilahkan kami duduk di kursi yang ada di
depan meja kerjanya.
“Bagaimana keadaan Rizal Dok?”Pak Hardiman bertanya
dengan tak sabar.
“Dia baik-baik saja Pak. Tidak ada luka serius. Dia
pingsan karena shock, bisa jadi ini adalah kecelakaan pertamanya.”jelas sang
Dokter. Aku yang mendengar ber-O ria dalam hati. Perasaan senang dan haru mulai
menyelimuti kalbu. Syukurlah…
“Ini saya berikan resep obat. Tolong ditebus di
apotik dan diminum teratur.”sang Dokter menyodorkan selembar resep obat kepada
Pak Hardiman. Tulisan dalam kertas itu begitu berantakan, dalam satu kata aku
hanya bisa mengidentifikasi 1 atau 3 huruf saja. Selebihnya aku tak tau. Dokter
itu lalu berlalu meninggalkan kami dan memeriksa pasien lain.
“Biar saya saja Pak yang menebus obatnya.”tawarku.
“Tak apa, biar Bapak saja. Dari awal niat Bapak juga
ingin membantu anak ini.”ujarnya padaku. Kulihat kesungguhan dibalik bola
matanya yang terlihat redup. Aku hanya bisa mengiyakan.
Rizal dipindahkan ke kamar pasien, sementara kami
pergi untuk menebus obat. Sepanjang perjalanan kami saling bertukar cerita
mengenai diri masing-masing. Ternyata Pak Hardiman ini seorang pengusaha
furniture dari Bandung.
Kami kembali dari apotik di depan rumah sakit itu. Dan
menuju kamar Raflesia tempat dimana Rizal dirawat. Kami membuka pintu kamar itu
dan mendapati Rizal telah membuka matanya. Pucat di wajahnya perlahan hilang.
“Zal..”sapaku saat kami menghampirinya. Dia menoleh
kearah kami dengan wajah datar.
“Saya dimana?”itulah kata yang terlontar dari
mulutnya.
“Kau di rumah sakit umum Zal.”jawabku lalu
mendekatinya, untuk memastikan lebih dekat bahwa memang benar wajahnya tak
sepucat tadi.
“Kakak..kakak
yang waktu itu kan? Yang menolak kusemir sepatunya.”terka Rizal. Aku kaget
bukan main, rupanya dia masih mengingatku.
“Ah..
i..iya Zal.”jawab ku meringis malu. Aku menoleh kebelakang dan melihat Pak
Hardiman duduk di kursi di kamar pasien itu, menyaksikan percakapan kami.
“Apa
yang terjadi denganku kak? Dan kenapa kakak tau namaku Rizal?”pikirannnya mulai
sadar. Dan kini dia mencoba menginstrogasiku, sudah kuduga ini akan terjadi.
“Kau
ditabrak seseorang tadi dijalan, Bapak itu menolongmu aku hanya membantu
sedikit. Kau kenal temanku yang bernama Nugraha? Katanya kau menjadi loper
koran di rumahnya.”jawabku seraya menoleh kearah Pak Hardiman. Pak Hardiman
tersenyum ramah. Rizal mencoba bangkit dari kasur pasien itu.
“Jangan
bangun dulu, kau masih belum sembuh betul.”ujarku dan spontan merangkul tubuh
kecilnya.
“Arghh!”dia
meringis kesakitan sambil memegang kepalanya yang dibalut perban. Pak Hardiman segera
bangkit dari kursinya dan membantuku membaringkan pelan tubuh Rizal.
“Aku
ingin berterima kasih kepada Bapak dan kakak.”kata Rizal seraya memegang tangan
Pak Hardiman lalu tanganku.
“Tapi
rasanya kurang sopan jika saya mengucapkan ini sambil berbaring seperti ini.”lanjutnya,
sorot matanya begitu memancarkan rasa bersyukur. Aku dapat melihat hal itu.
“Iya,
jangan merasa sungkan. Sudah seharusnya kita sesama manusia harus saling
membantu dalam keadaan yang susah.”jawa Pak Hardiman. Rizal tersenyum lemah.
“Dimana
rumahmu?”Pak Hardiman kembali mengajukan pertanyaan pada Rizal, dia menarik
sebuah kursi jati mendekati ranjag tempat Rizal berbaring. Aku belum merasa
pegal dan tetap berdiri di samping ranjang Rizal.
“Di
daerah pasar pucuk Pak, rumah saya masuk lorong Kandis.”jawabnya lirih.
“Tinggal
bersama siapa?”tanya Pak Hardiman lagi.
“Sama
Paman dan kakak-kakak saya Pak.”Rizal mengelus-ngelus perban kepalanya pelan.
Pak Hardiman diam sejenak lalu lanjut bertanya lagi.
“Pamannya
kerja apa?”Pak Hardima meletakkan tangannya di atas ranjang Rizal. Rizal diam,
dia berhenti mengeleus-ngelus perbannya dan menoleh kearah Pak Hardiman. Lalu
Rizal menggeleng pelan.
“Tak
tau.”ujarnya lirih. Aku ikut terkejut, bagaimana bisa anak ini tak tau apa
pekerjaan orang yang tinggal serumah dengannya. Dan bagaimana mungkin Pamannya
membiarkan anak sekecil ini mencari nafkah?
“Pak..kapan
saya boleh pulang?”Rizal melanjutkan jawabannya dengan pertanyaan. Pak Hardiman
menoleh kearahku, seperti meminta jawaban.
“Ah..Zal,
lukaku tidak parah. Kau boleh pulang hari ini juga. Aku akan mengantarmu.”aku
spontan menjawab. Rizal Nampak lega.
“Assalamua’laikum..”seorang
dokter masuk ke kamar pasien Rizal bersama perawatnya. Seisi ruangan menjawab
salam itu.
“Saya
ingin memeriksa keadaannya Pak.”ujar sang dokter ramah. Dokter ini bukanlah
dokter yang merawat Rizal sebelumnya. Dokter ini juga mengenakan jilbab, tetapi
tanpa kacamata dan lebih terlihat muda disbanding dokter sebelumnya.
“Iya
dok, silahkan.”jawab Pak Hardiman dan menarik kursinya kembali ketempat
asalnya.
Aku
dan Pak Hardiman diam berdiri menyaksikan sang Dokter dan perawatnya memeriksa
keadaan Rizal. Terlihat sang Dokter dengan ramahnya memberikan nasehat kepada
Rizal, dan sang perawat menyuntikan sesuatu ke lengan Rizal.
“Dia
bisa pulang hari ini juga. Mungkin sekitar jam 3 sore nanti.”sang Dokter
berkata setelah mendekati kami yang berdiri di dekat pintu.
“Terima
kasih Dok.”jawabku.
“Obatnya
sudah ditebus?”tanya dang dokter lagi. Aku segera mengambil bungkusan yang
sebelumnya kuletakkan di meja kamar pasien itu.
“Ini
obatnya Dok.”jawabku seraya menyerahkan bungkusan itu. Sang dokter mengecek obat-obatan
didalamnya.
“Jangan
lupa ingatkan di selalu untuk meminum obatnya.”sang dokter itu menyerahkan
kembali bungkusan itu kepadaku. Aku mengangguk, lalu sang Dokter beserta
perawatnya berlalu menuju kamar pasien lainnya.
“Kau boleh pulang jam 3 sore nanti.”Pak Hardiman
mengelus-ngelus pelan kepala Rizal. Rizal tersenyum ramah.
Aku memperhatikan tubuhnya yang terbaring itu.
Kepala diperban, kaki dan tangan penuh luka dan bajunya yang sobek. Rasa
penasaran menggerogoti relung hatiku, kenapa sampai ada seorang bocah di
Baturaja ini yang berkerja dengan kerasnya. Untuk apa semua itu?
Menjadi tukang semir sepatu, loper koran dan
sekarang aku tau bahwa dia juga pemulung barang bekas.
Dimana
orang yang seharusnya bertanggung jawab? Aku harus mencari tau hal ini. Aku
harus mengungkap ini. Tak tahan batinku melihat anak sekecil ini kehilangan
masa kecilnya yang bahagia.
****
“Lorong
kandis itu dimana Zal?”tanyaku saat kami tengah melewati jembatan Ogan yang
sedikit ramai karena malam hari.
Jika
di sore hati akan terlihat erlihat disisi kanan dan kiri ada orang yang
memancin.. Di bawah jembatan, warga akan membersihkan diri dan tak perduli bahwa
di sisi sungai Ogan yang lain ada orang yang sedang membuang hajat. Kadang aku
merasa jijik, tapi kadang iri karena aku belum pernah mandi di sana.
“Di
dekat toko kue Bakery kak.”jawabnya sambil terus memeluk erat tubuhku yang
sedang mengendari sepada motor bebek merahku.
Pak Hardiman akhirnya membiarkanku
mengantar sendiri Rizal, setelah aku berhasil meyakinkannya bahwa ini bukan
perkerjaan yang susah. Sebelumnya Pak Hardiman mendesakku agar kami bersama
mengantar Rizal dengan mobilnya. Aku menolak karena kurasa bakal susah mobil
masuk kedalam lorong. Tetapi Pak Hardiman terus memaksa kami untuk makan
bersamanya, dan jadilah aku baru bisa mengantar Rizal malam-malam seperti ini.
Kami melewati barisan toko yang
telah banyak tutup dan terus melaju. Lalu sampailah kami pada sebuah gang kecil
di deretan toko kue yang disebut-sebutnya sebelum ini.
“Masuk sini kak..”ujarnya menunjuk
lorong yang terlihat sempit itu.
“Motor bisa masuk ga?”tanyaku sambil
melihat gang yang nampak sangat kecil itu.
“Jalan saja kita kak, tidak jauh
rumahku dari sini.”jawabnya. Aku berpikir lalu mengiyakan sarannya. Aku
memarkirkan motorku di depan sebuah bank yang telah tutup dan meminta pak
satpam untuk menjaga motorku. Untunglah Pak satpam dengan perut buncit itu baik
dan tidak menolak permintaanku.
Aku dan Rizal mulai berjalan
memasukki gang kecil itu. Sungguh jalan yang sempit dan gelap, jalan yang kami
lalui pun terkadang berair. Entah air apa itu. Suasana juga begitu sepi disana,
hanya terlihat anak-anak yang tampak seperti preman melalui jalan itu. Kami
terus berjalan dan tak lama setelah melewati tikungan kulihat rumah dari kayu.
Rumah itu bercat hijau pudar, dan nampak agak lapuk dimakan zaman.
“Plak!”kudengar bunyi yang begitu
kuat dari dalam rumah itu. Aku begitu kaget tetapi Rizal nampak tak terkejut
mendengar suara itu.
“Sudah kubilangkan! Satu hari itu
kau harus bawa uang! Berapa pun jumlahnya! Sudah 2 hari kau lakukan hal ini!
Plak!”kini kudengar suara lelaki dengan garangnya marah. Lalu kudengar suara
anak kecil menanggis terdesu.
“Ampun Pak.”kata anak di dalam rumah
itu.
“Suara apa itu?”mulutku mengeluarkan
kata-kata tanpa kusadari.
“Itu pasti Paman.”jawab Rizal
santai. Aku menahan dia yang hendak masuk ke dalam rumah itu saat ku dengar
suara pintu dibuka.
“Jangan pulang sebelum kau berikanku
uangmu!”dengan kasarnya lelaki itu mendorong tubuh anak kecil yang menanggis
itu lalu masuk kedalam. Aku cepat-cepat membungkam mulut Rizal dan bersembunyi
dibalik tikungan pada gang yang sempit itu. Aku mulai mengerti semua ini. Anak
kecil yang dipukulnya tadi berlari dan tidak melihat kami.
“Jangan bilang padaku, bahwa itu
rumahmu!”tanyaku pada Rizal, aku menguncang-nguncang tubuh kecilnya.
“Iya itu rumahku, dan lelaki tadi
adalah pamanku.”jawabnya dengan santai.
“Apa kau sudah gila?! Kau lihat apa
yang baru saja dia lakukan terhadap temanmu?!”tanyaku lagi. Aku mulai geram
mengingat sikap yang dilakukan lelaki tadi.
“Tapi Paman memberi kami makan dan
mainan. Aku juga tidak punya tempat tujuan, paman hanya memarahi anak yang
malas kak.”jawabnya lagi. Aku semakin geram, bisa-bisanya anak sekecil ini
tinggal di tempat yang mengerikan seperti itu.
“Aku tak akan membiarkanmu tinggal
ditempat seperti ini! Ayo kita pergi!”kataku dengan tak sabar aku menarik
tangannya. Tetapi ada seseorang yang menepis tanganku dengan kasar.
“Jangan macam-macam kau!”ruapanya
lelaki di dalam rumah itu telah keluar dan kini dia berada di depan mataku. Aku
kaget bukan main, tampaknya lelaki ini mendengar apa yang kami bicarakan. Aku
mengandeng tangan Rizal erat dan berlari keluar dari gang itu. Lelaki garang
itu mengejar kami membabi buta. Sesekali dia berteriak menyuruh kami berhenti.
Perasaaan takut mulai menyelimuti pikiranku. Hari ini sudah malam, tak banyak
orang yang berlalu lalang. Dan aku teringat dengan Pak Satpam di depan bank
itu.
“Brukk!” Rizal tersungkur di
belakangku. Ternyata aku terlalu cepat berlari. Tanpa banyak berbicara aku
menggendong tubuh Rizal dan terus berlari. Akhirnya kami sampai di depan bank
itu. Namun sayang, hanya motorku yang ada. Tak tau dimana Pak Satpam itu pergi.
Otakku berpikir keras, tetapi
terlambat. Lelaki itu kini telah berada di depanku. Rizal mulai menanggis
takut.
“Kembalikan anak itu!”desaknya
padaku sambil menodongkan pisau tajam kearahku.
“Tak akan! Manusia keji sepertimu
tak pantas mendekati anak ini.”balasku kasar.
“Kau ingin mati ya?!! Kembalikan
kataku!”dia berlari kencang kearahku hendak menghunuskan pisaunya, aku berusaha
menghindar tetapi lenganku terkena ketajaman benda itu. Rizal menjerit. Lalu
terdengar suara sirine menuju kearah kami. Lelaki berpisau itu panik bukan
kepalang. Dia melotot kearahku. Lalu dengan ganasnya menyerang Rizal, aku
berusaha melindungi Rizal dan pisau itu terhunus ke perutku.
Dia kemudian lari, kesadaranku
menghilang. Tubuhku terjatuh dijalan yang dingin itu. Rizal menanggis
disebelahku. Dia memanggil-manggilku.
“DOR!”kudengar suara itu sesaat
sebelum aku kehilangan kesadaranku. Apa aku akan mati?
tanyaku dalam
hati.
****
Bau apa ini? Bau obat? Kenapa bau
obat begitu menyengat? Aku dimana?
Perlahan ku buka
mataku. Dinding putih. Ah! Pasti rumah sakit. Aku teringat akan kejadian tadi
malam. Rupanya aku telah berada dirumah sakit. Kuraba perutku, dan kulihat
pakaianku telah berubah menjadi perban.
“Bagaimana perasaanmu?”seorang
perawat menghampiriku.
“Baik. Mbak, bagaimana keadaan anak
kecil yang bersamaku?”tanyaku lemah.
“Dia sedang tidur disana, dia
terlihat lelah. Beistirahatlah, besok baru akan kami hubungi keluargamu.”jawab
perawat itu dan mengecek selang imfusku. Aku seolah terbius, mataku terpejam
tanpa sebab. Benar sebaiknya aku tidur. Syukurlah Rizal tak apa…
****
Pagi itu aku merasa lebih baik. Aku
juga sudah bisa berbicara dan bercengkrama dengan Rizal. Aku tak ingin dia
shock dengan kejadian semalam, makanya aku belum bertanya apa-apa padanya tentang
kejadian semalam itu.
Kata
perawat yang memeriksaku tadi pagi, lelaki yang menyerangku ditembak saat
mencoba kabur dan kehilangan banyak darah lalu meninggal. Akhirnya seluruh anak
yang dipekerjakannya ditampung di panti Asuhan An-Nur Baturaja.
Dan
polisi-polisi itu datang atas laporan Pak Satpam penjaga Bank itu. Ternyata dia
tengah pergi ke toilet malam itu. Keluargaku pun telah dihubungi, Ibu menanggis
saat aku menelponnya. Dan mereka sedang menuju kesini.
“Kak Daffa, sekolah itu apa sih?”
Rizal bertanya dengan polosnya saat aku bertanya tentang sekolah. Aku tersenyum
geli.
“Sekolah itu tempat yang
menyenangkan, jika masuk kesana kau akan banyak belajar dan menjadi apa yang
kau inginkan. Rizal cita-cita apa nanti?”aku mengelus kepalanya pelan.
“Cita-cita? Apa itu kak?”tanyanya
lagi.
“Cita-cita itu adalah sesuatu yang
ingin kau capai. Bisa dokter, polisi, arsitek, dan lain-lain. Jadi cita-citamu
apa Zal?” aku tersenyum lembut kearahnya. Dia tampak berpikir keras.
“Ingin jadi Power Ranger!”jawabnya
semangat.
“Cita-cita yang bagus.”pujiku sambil
tertawa geli, rupanya anak ini belum menemukan cita-citanya.
Tak lama keluargaku datang. Ibu
menaggis saat melihat tubuhku dibalut perban. Pak Hardiman dan Nugraha juga
datang, berita tentangku ada di koran pagi ini. Aku memperkenalkan Rizal
dan menceritakan semua yang terjadi.
Semua begitu terkejut mendengarnya.
“Ibu, ijinkan Rizal tinggal bersama
kita. Aku ingin merawatnya hingga dapat menjadi orang yang berguna.”kataku
tegas. Ibu terlihat kaget lalu tersenyum lembut. Dibelainya lembut rambut
Rizal. Lalu beliau menoleh kearah Ayah.
“Boleh saja, siapa yang akan menolak
anak semanis ini untuk tinggal dirumah. Kau juga anak tunggal, jadi kita angkat
dia sebagai adikmu.”kata Ayah bijak. Aku tersenyum senang.
“Maaf jika lancang,tetapi ijinkan
saya untuk menyekolahkan anak ini hingga sukses.”Pak Hardiman memotong
percakapan kami. Kami menyambut pertolongan itu dengan senang hati.
“Jadi Rizal tidak perlu menyemir
sepatu lagi? Tidak perlu loper koran lagi? Memulung lagi?”kata Rizal sambil
bercucuran air mata.
“Tidak perlu Rizal, sekarang kami
keluargamu. Aku ibumu sekarang.”Ibu mendekap tubuh Rizal lembut.
Suasana berubah
haru. Tak kusangka pertemuanku dengan Rizal hari itu menuntunku hingga hari
ini. Syukurlah aku bisa menyelamatkannya. Semoga kelak dia akan menjadi sosok yang
berguna yang dapat memakmurkan Baturaja ini, bahkan negeri ini.
Selamat datang
ke rumah, adikku Muhammad Rizal.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar