Janjimu padaku
akan datang saat hujan datang. Tapi kamu tak datang jua. Perpisahan kita waktu
itu, aku selalu berharap tidak pernah terjadi. Kamu selalu bilang akan
menemuiku lagi. Setiap hujan datang aku selalu memandang keluar. Berharap
sosokmu menghalangi pandangku terhadap rintik air. Aku selalu menunggumu. Dan
sekarang aku tidak tahu. Apa kamu akan datang atau tidak. Aku mulai
menggangapmu pembohong.
“Searan, kamu selalu begini.
Telponku tidak kamu angkat lagi?!”, Ini suara yang begitu kukenal, Zen, dia
teman sekamarku.
“Ah Maaf.”, balasku
“Aku jadi kebasahan. Coba kamu
angkat telponku dan menjemputku. Aku tidak perlu berlari menembus hujan
begini.”, keluh Zen. Kulihat dia mulai mengacak-acak rambut panjangnya dengan
handuk.
“Sudahlah, wajah tampanmu sesekali
harus merasakan hujan.”,
“Kau itu tidak pernah berpikir dua
kali kalo bicara.”
Aku menghembuskan nafas panjang.
Yasudahlah, aku tidak sanggup lagi berdebat dengan dia.
“Mulai lagi. Kau sendiri tau dia tak
akan datang. Berhentilah.”, suara Zen terdengar khawatir juga kesal.
“Dia akan datang.”, setidaknya
itulah yang ingin kupercayai.
Begitulah
percakapan ini diakhiri dengan dengusan kesal Zen.
Satu setengah
tahun yang lalu.
Hari ini cuaca
sedang cerah. Aku benar-benar suntuk dengan pekerjaanku. Aku seprang estimator
proyek konstruksi. Tugasku menghitung anggaran biaya sebuah proyek tapi hidupku
tak bisa kuperhitungkan.
Pagi ini bos-ku
sudah marah-marah karena pekerjaanku tidak ada kemajuan. Jujur saja aku sudah
jenuh dengan pekerjaan ini. Baru seminggu aku bekerja, tapi aku merasa
lingkungan kerja disini membuatku gerah.
Roof gendung
kantor adalah tempat kesukaanku. Jam istirahat siang lebih banyak kuhabiskan
diatas sini. Gedung ini memiliki 10 lantai. Dari sini aku bisa leluasa memandang
langit. Berpikir cara bagaimana aku bisa mendapat pekerjaan lain dan keluar
dari tempat ini.
Asap-asap
menggepul di depan wajahku. Meski begitu aku tidak terganggu, teman kecil ini yang menciptakannya. Aku
tidak ingin sejak kapan benda ini mulai ikut bersamaku. Sehari saja asap tidak
muncul dari mulutku, rasanya ada yang kurang. Ini hembusan asap terakhir,
putungnya kuinjak kuat-kuat memastikan api sudah padam.
Aku mulai
melamun jauh. Mentari sedang tertutup awan, sehingga mataku bisa leluasa
memandang langit.
“ Coba saja gajiku lebih besar,
bosnya lebih ramah. Aku pasti betah kerja disini.”, batinku. Tak lupa pula aku
menyisipkan hembusan nafas disetiap kata-kata keluhanku. Aku mulai berpikir
jauh, dan perhatianku tercuri oleh benda asing berkilau yang mulai jatuh
mendekatiku. Otakku seperti kehilangan setengah kesadaran begitu benda itu
semakin dekat. Tanpa sempat aku berpikir lama benda itu telah menghampiri
wajahku.
“Aduh!”, seruku. Aku merunduk
sedikit dengan tangan tetap memegang jidat. Aku mencoba mengamati sekeliling,
tapi benda itu sudah hilang.
“Maafkan aku.”, Suara ini terdengar
jelas berasal dari belakangku. Refleksku sangat bagus kepalaku kini telah
berputar mengikuti asal suara berasal.
Mataku seperti
tersihir, setidaknya dalam hidupku dia wanita tercantik yang pernah kulihat.
Dia menggenakan dress biru laut selutut. Rambut panjangnya dihiasi pita
berwarna senada.
“Siapa kamu?”, ya, pertama aku harus
tau dia siapa atau ‘apa’.
“Kamu tidak perlu tau aku siapa.
Yang pasti aku disini karena semua keluhanmu telah sampai ke awan. Aku tidak
sanggup mendengarnya lagi.”, wanita ini membuat ekspresi tidak senang. Ini
pertemuan pertama kami tapi dia seperti telah mengenalku lama.
“Hah?”, kebinggungan adalah hal
pertama yang kulakukan.
“Kamu sangat membuatku kesal. Kamu
terus mengeluh sambil menatap langit. Langit terlalu bagus sebagai tempatmu
mengeluh.”, dia terus-terusan berbicara. Kali ini kedua tanganya ia silangkan
didepan dada.
“Pokoknya, mulai sekarang aku akan
membuatmu berpikir lebih baik tentang hidup.”,
Dia terus
berbicara dan tak sadar bahwa aku telah cepat-cepat meninggalkan tempat ini.
“Hei !! Jangan pergi !”, pekiknya.
Aku tak mengerti, tapi aku yakin
keputusanku melarikan diri adalah hal yang sangat bagus. Aku cepat-cepat berlari,
aku punya firasat dia akan menyusahkan hidupku.
****
Disini pasti aman. Dia tak akan
menemukanku disini. Gedung ini sangat luas. Aku yakin dia tak akan masuk
kesini. Aku terus membantin seraya mengatur nafasku yang terengah-engah.
“Bukaaaaaa, aku tau kau didalam! Hei
! Hei !!”, suara ini. Ya Tuhan, bagaimana bisa dia menemukanku disini. Di
belakang suaranya kudengar pula orang-orang tampak kaget.
“Sudah gila wanita ini, apa yang dia
lakukan di toilet pria ???!”, kudengar salah satu orang mengatakan hal itu.
Astaga, aku benar-benar tidak mengerti. Otakku dipaksa berpikir cepat sambil
kudengar teriakan wanita aneh itu di depan pintu quible toilet pria ini.
Pintu didepanku kembali
dipukul-pukulnya dengan keras.
“Hei buka! Jangan bersembunyi !”,
suara wanita aneh ini semakin kencang. Ini benar-benar membuatku malu. Secepat
mungkin aku membuka pintu quible itu. Kutarik tangannya mengikuti langkah
kakiku yang semakin cepat. Sebentar lagi waktu istirahat siangku berakhir. Aku
tak tau kenapa aku malah menarik tangan perempuan yang bahkan namanya saja aku
tidak tau. Kakiku melangkah semakin cepat beriingan dengan langkah kakinya.
“Mau kamu bawa kemana aku?”, dia
tidak tahu mau kubawa kemana namun langkahnya tetap mengikutiku. Kami melewati
beberapa ruangan. Turun dengan lift dan tak lama sampai di sebuah cafe didekat
kawasan gedung kantorku.
“Zen, jaga wanita ini sampai aku
selesai kerja.”, aku segera berlari setelah meninggalkan perempuan itu bersama
temanku. Mereka berdua tampak kebinggungan namun memilih untuk tidak
menghentikanku. Aku sesaat lupa akan amarah bos tadi pagi karena pekerjaanku
belum usai. Kupercepat lari berharap seperti inilah tugasku bisa cepat selesai.
****
Sudah seminggu
perempuan aneh ini mengikutiku. Dia bilang namanya Nerrisa tapi dia enggan
menyebutkan dari mana atasnya. Yang kutahu sekarang dia berasal dari ‘atas’.
Untuk sementara kami ijinkan dia tinggal di apartemen kami.
“Sudah kubilang jangan mengikutiku
kemana-mana.”
“Kamu kan tidak kerja, jadi aku
boleh mengikutimu kemanapun.”, Aku tidak mengerti dengan perempuan ini. Karena
pakaian asalnya terlalu mencolok akhirnya kuputuskan untuk membelikannya
pakaian casual. Kini dia mengenakan maxi dress biru dongker dengan rambut
diikat satu. Jujur saja, aku mulai terbiasa dengan kehadirannya.
Kami sedang berada di dalam bus,
menuju toko alat musik untuk mengambil gitarku yang telah selesai diperbaiki.
“Pak sopir itu, dia sedang dalam
masalah. Istrinya pergi dengan lelaki lain yang lebih kaya. Tapi dia jarang
mengeluh, lihat saya sedari dari ia terus menebar senyum untuk penumpang.”, Lagi,
Nerrisa selalu seperti ini. Dia selalu mengatakan sesuatu seperti ini seolah
mengingatkanku untuk mensyukuri hidup.
“Kenapa kamu selalu tau semua itu ?”,
tanyaku
“Ini semacam anugerah kurasa. Aku bisa
tau masalah seseorang. Saat air mata mereka mulai jatuh, perasaan itu mengempul
ke atas langit saat itulah hujan turun.”, Nerrisa mencoba menjelaskan sesuatu.
Aku tak terlalu paham, entahlah wajahku cukup menampakan keheranan.
“Intinya aku mau kamu jadi orang
yang lebih berpikir baik. Besyukur atas hidup.”, matanya terlihat serius
menatapku. Dia tidak sedang main-main, senyumnya yang manis itu sesaat
menghilang. Sempat kukira dia orang lain.
****
Telah
banyak yang kulalui bersamanya. Ini sudah Setengah tahun. Aku, Zen, dan
Nerrisa. Hidupku sudah terbiasa dengan adanya mereka berdua. Aku tidak tau apa
saja yang telah kulalui. Seingatku bulan lalu, aku dan Nerrisa menolong seorang
anak penjual koran yang hampir tertabrak mobil. Saat kami singgahi rumahnya,
sesak sekali saat kutahu ayahnya sedang terbaring sakit. Anak yang seharusnya
sekolah itu memutuskan untuk berjualan koran demi obat sang ayah.
“Aku malu sekali, aku bisa bekerja
diperusahaan bagus. Gaji yang kusebut-sebut kecil bagi sebagian orang adalah
jumlah sangat banyak.”, gumamanku terdengar oleh mereka berdua. Kami sedang
berada di cafe Zen menikmati secangkir capuccino dan menatap hujan dari kaca
jendela.
“Dia sedang sakit, atau apa?”, Zen
jelas tidak paham. Selama beberapa bulan ini, aku jadi lebih ‘aneh’ menurut
dia. Kebiasaanku mengempulkan asap diwajah perlahan mulai kutinggalkan. Juga
sekarang pekerjaan, kuselesaikan tepat waktu. Gajiku tetap seperti itu. Tapi
aku mencoba bertahan, segala sesuatu yang luar biasa harus ada pengorbanan.
Itulah yang sekarang aku percayai.
Jika kutoleh ke belakang, aku jadi
ingat semua ini karena kemampuan Nerrisa yang bisa menceritakan masalah
orang-orang disekitarku.
“Zen, bukankah kau pikir bagus dia
seperti ini.”, aku melihat Nerrisa tersenyum. Ini tidak seperti senyum dia
biasanya. Ada sedikit kesedihan disana tapi aku belum mengetahuinya.
****
“Aku berterima kasih, untuk setiap
detik yang kulalui bersamamu.”, Nerrisa memintaku untuk datang ke atap gendung
kantorku. Hari ini sudah malam, aku memohon kepada petugas jaga agar
mengijinkanku masuk setelah kuterima sepucuk surat dari Nerrisa dikamarku. Kini
dia berada didepanku, berkata demikian membuatku berpikir yang bukan-bukan.
“Bicara apa kamu. Sekarang sudah
malam. Ayo kita pulang.”,jawabku. Aku mencoba meraih tanganya. Tidak seperti
dulu saat pertama aku menggengam tangannya, kali ini aku mencoba menggenggamnya
dengan lembut.
“Aku punya batas waktu disini.
Perjanjianku dengan penciptaku sudah dalam batasnya. Aku ingin bertanya satu
hal. Kenapa kamu tidak pernah bertanya siapa aku sebenarnya. Mengijinkanku
masuk dalam kehidupanmu.”, dia berkata dengan hati-hati. Aku bisa merasakan
hangatnya tangan dalam genggamanku.
“Karena aku takut mengetahui hal
yang tak ingin aku ketahui. Hal seperti ini, bahwa kamu memiliki batas waktu
untuk berada disisiku.”, aku terdengar terlalu berlebihan menanggapi hal ini
tapi peri dari langit ini telah mencuri hatiku. Dia mengubah caraku berpikir,
bersikap, dan menentukan pilihan.
“Searan, dengarkanlah. Aku akan
meminta kepada penciptaku agar kita bisa bertemu lagi. Tapi kamu harus memenuhi
syarat ini. Tolong jangan mengeluh lagi. Lebih bersyukurlah dalam hidup. Jika
memandang lagi ingatlah awal pertempuan kita. Seperti kataku, langit terlalu
bagus sebagai tempatmu mengeluh. Jika...”,
“Jika apa?”,
“Jika semua itu bisa kamu lakukan.
Kita akan bertemu lagi saat hujan.”,
“Hujan?”,
“Ya.. saat hujan datang aku akan
menemuimu lagi.”
Itulah kata terakhirnya padaku.
Sebelum akhirnya dia perlahan menghilang seperti embun yang disinari mentari.
Perlahan menguap, lalu luput dari pandangan. Aku merasa sangat sakit, jantungku
seperti tertusuk duri tajam. Tangisan tak bisa kutahan. Tak lama hujan rintik
datang, mulai membasahi pakaian yang kukenakan.
“Apakah itu kamu?”, aku
bertanya-tanya dalam harap.
***
“Ramalah
cuaca hari ini, diperkirakan untuk seluruh kota X akan mengalami hujan gerimis
sampai lebat sampai larut malam. Dihimbaukan untuk seluruh masyarakat dapat
membawa payung.”, aku mendengar pria di televisi itu membacakan sesuatu.
Ramalan cuaca. Sepertinya akan hujan. Seperti saat dia meninggalkanku dulu,
sampai sekarang aku selalu berharap hujan akan mendatangkannya padaku.
“Kamu
sudah makan Searan? Aku membawakan beberapa cake dari cafeku.”, Zen duduk
disebelahku. Dia baru selesai mengeringkan rambutnya karena kehujanan. Tadi ia
sempat mengomel karena aku tidak menjawab teleponnya.
“Sudah.”,
ujarku singkat.
“Dengar
temanku, bukan kamu saja merindukan Nerrisa. Aku juga. Kamu jangan seperti ini.
Sudah sebulan kamu memutuskan untuk resign dan mengganggur.”, Zen terdengar
sangat khawatir kepadaku.
“Besok,
aku akan tes wawancara.”, jawabku singkat. Aku tidak sedang berusaha
menghancurkan hidupku. Hanya saja aku sedang menunggu, panggilan kerja.
“Ya,
semangatlah. Jika kau butuh apa-apa jangan sungkan beritahu aku.”, Zen mulai
menyantap kue yang dia bawa dan tiba-tiba dia berteriak.
“Astaga
!!! Kunci cafe tertinggal !!”, Dia mulai berkeliling apartemen, aku hanya
melihatnya panik dengan heran.
“Astaga
kenapa aku bisa lupa.”, dia cepat-cepat berlari menuju cafe sampai akhirnya
jari kakinya tersantuk meja didepan kami. Dia tersungkur, aku melihat dia
meringgis kesakitan.
“Hati-hati
kalo jalan.”,
“Searan
cepat-cepat ! ambil kunciku, masih tergantung di pintu aku sangat yakin.”,
orang yang aku khawatirkan ternyata lebih khawatir dengan nasib kunci cafe yang
tertinggal. Aku mengambil payung dan bergegas. Jaraknya tidak terlalu jauh dari
apartemen kami, hanya butuh sekitar 5 menit untukku sampai.
Hari
itu hujan cukup deras, jalanan juga tampak sepi karena telah malam. Aku telah
berdiri di depan pintu cafe temanku. Namun tidak aku lihat kunci tergantung
disana.
“Mungkin
jatuh.”, batinku dan menyalakan senter dari handphoneku. Aku merunduk dan mulai
berjalan pelan disekitar pintu.
“Mencari
ini?”, suara wanita tepat di belakangku. Aku menoleh segera karena aku tau
suara ini tapi tidak yakin.
“Nerrisa?”,
ujarku. Aku mulai berdiri tegak. Tanganku bergerak sendiri. Menghempaskan
payung yang kubawa dan mulai memeluknya erat-erat.
“Zen
pasti melupakan kuncinya lagi. Untung aku yang menemukannya.”, dia terus
berbicara meski telah aku dekap.
“Bodoh,
aku merindukanmu.”, ujarku pelan.
“Sudah
kubilang aku akan kembali menemuimu saat hujan.”, balasnya. Tangganya mulai
membalas dekapanku. Cuaca dingin dari hujan deras tidak lagi kurasakan. Aku
rindu perempuan ini.
Aku
hampir tidak mempercayaimu lagi. Aku hampir mengeluh. Sekarang aku lega bisa
memelukmu. Aku lega kau menepati janji itu. Janji bertemu saat hujan.
“Maaf,
aku butuh waktu untuk meyakinkan penciptaku. Agar aku dapat menjadi sepertimu.
Sekarang aku tidak punya apa-apa lagi. Aku akan seperti awal baru lagi.”, dia
bercerita namun dekapan tidak kulepaskan.
“Iya,
sekarang. Tetaplah disisiku sampai kapanpun. Aku akan berusahan menjagamu.”,
jawabku dengan sungguh-sungguh.
Hujan
hari ini adalah hujan terindah dalam hidupku. Karena dia menghantarkanku
kembali bertemu dengan peri dari langit ini. Aku bertanya-tanya kenapa ia ingin
menemuiku lagi saat hujan. Mungkinkah ia peri hujan ? Entahlah, satu yang
sekarang aku ketahui. Bahwa perempuan ini akan kujaga dengan segenap jiwa dan
ragaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar