Note : Aku jarang banget bikin flash-fiction hahaha terus tiba-tiba kangen nulis. :D
Ini adalah tantangan nulis yang sudah 1000 tahun aku delay :(
sedih........
#ACTChallenge .Happy Reading :)
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
“Sudah nak, kamu jangan pulang lagi. Bapak akan siapkan
tanggal pernikahan untuk kalian.”, Seketika kalimat itu menusuk ke dalam
telingaku menjalar cepat sangat cepat sampai ke jantung.
Kurasakan perutku ikut
berguncang. Aku tak tau. Binggung adalah kata tertepat untuk katakan.
Menempuh 2 hari perjalanan dari Ibu Kota aku menuju kota
empunya Ampera. Niatku satu, aku ingin memperkenalkan diriku dan mengenal
keluarganya. Seorang diri aku mengendari mobilku, tak ada satu pun firasat
kalimat itu akan terlontar dari ayahnya.
Mataku mulai menatap gadis pujaanku tepat disamping ayahnya.
“Kamu sudah jauh-jauh datang ke Palembang. Niat baik jangan
ditunda lagi. Menetaplah disini beberapa hari.” Belum sempat aku membalas
kalimatnya tadi kini Bapak gadis pujaanku sudah mengeluarkan kata-kata baru.
“Sebenarnya, dari pada saya. Apakah adik telah siap?”,
padanganku tak lepas dari Jingga, dia adalah wanita yang baru kukenal selama 2 bulan
terkahir ini. Pertemuanku dengannya secara tak sengaja di salah satu restoran
Jakarta tak kusangka mempererat benang merah antara aku dan dia.
Jingga tak membalas cepat pertanyaanku. Dia menoleh sesekali
ke ayahnya lalu sesekali menatap aku. Entah apa yang terjadi, tak kusangka
ayahnya akan berkata seperti itu.
“Jingga selalu percaya pada keputusan Bapak.”, kalimat
singkat keluar dari mulut kecilnya. Jantungku tidak berfungsi normal sekarang.
Jantungku mulai memompa darah tak beraturan. Aku seperti baru saja menelan
mentah-mentah petasan yang sering kudengan saat malam tahun baru.
“Nak Damar, sekarang kamu istirahat. Biar Bapak yang urus
semuanya.” Beliau mempersilahkanku untuk menempati rumah di sebrang rumah mereka.
Jingga mengantarkanku. Tak lama dia datang lagi membawa selimut dan
perlengkapan lain.
“Dek, kamu tau aku kesini awalnya niatku hanya untuk
berkenalan dengan keluargamu.” Aku menatap langit senja. Kami duduk di teras
rumah berdua. Aku rasa aku harus jujur tentang kondisiku sekarang.
“Iya mas, aku tau.”
“Ini dek.. mas cuma bisa kasih ini buat pernikahan kita.
Maafin aku ya dek, pernikahan kita tidak bisa terlalu mewah.”, kuserahkan uang
6 juta rupiah yang kupunya. Kuletakkan uang itu di atas meja bundar di antara
kami. Senilai itulah uang yang kupunya di kantongku. Aku merasa membuatnya
sedikit kecewa.
“Mas, aku mau hidup bersamamu, menikahimu, karena aku ingin
berjuang bersamamu.” Dia menggengamku erat, dari matanya aku sudah tau dia
tulus mengatakan ini.
“Jingga, aku mohon.. meski kita berada dalam posisi terbawah
nanti. Tetaplah bersamaku, jadi teman hidupku, berdua kita arungi dunia.” Aku menatapnya
lekat-lekat, Jingga... satu nama yang aku harap selamanya akan berdampingan
dengan namaku sampai habis hayat ini.
“Mas, kok kayak lagu ya ?”, dia tertawa kecil. Tawa nya
adalah kebahagiaan spesial untukku.
“Dek, aku tau ini sudah
terlambat. Tapi aku ingin sekali melakukan ini padamu.” Aku tak tau bagaimana
cara melakukan ini. Aku keluarkan cincin
yang telah lama kusimpan dalam kantongku.
“Jingga, kamu adalah wanita pertama yang membuatku tak ingin
jauh darimu. Kamu juga wanita yang kuinginkan menjadi pendampingku sampai akhir
hayat ini. Jingga, maukah kau menikah denganku?”
Hanya sekilas namun aku yakin, aku melihat air mata
kebahagiaan dari matanya. Dia tak
menjawab namun hanya mengangguk pelan, tersenyum kearahku. Kusematkan cicin
yang kubawa dari ibu kota di jari manisnya. Perjuanganku menahan malu mencari
cincin ini seorang diri bukanlah apa-apa sekarang. Aku bahagia melihat
senyumnya sore ini.
Sejarah baru saja
tertulis dalam kitab hidupku. Meski ini adalah bagian dari permainan takdir
yang harus aku jalani, aku harap semua akan baik-baik saja.
****
Hari ini adalah harinya. Semua sudah berkumpul tepat 3 hari
setelah aku disini. Perasaaanku campur aduk. Keluargaku yang datang dari ibu
kota kaget mendengar aku akan menikah. Mereka tak bisa melarang niat baik ini.
Jadilah mereka sekarang berkumpul disini. Dalam kehangatan keluarga acara
pernikahan kami langsungkan. Semua sangat sederhana. Ruangan itu adalah ruang
keluarga rumah Jingga tapi hiasan sederhana dari untaian bunga-bunga plastik
dan tirai-tirai putih menjadikan ruangan kecil ini sangat terasa anggun.
Aku bersyukur untuk setiap detik-detik di hari ini. Saat
ijab telah kuucapkan, para saksi memberikan kata sah untuk kami adalah momen
yang aku bersumpah akan selalu aku ingat.
Aku menangis haru. Saat Jingga dengan pakaian pegantin warna
pink salemnya datang mendekatiku. Aku sangat bahagia.
Kami telah duduk di kursi pelaminan sekarang aku berbisik
pelan.
“Dek, setelah ini akan ada banyak hal yang akan kita lalui.
Tetaplah kita bersama. Bahagiamu akan jadi bahagiaku dan dukamu akan jadi dukaku.
Begitu juga sebaliknya.”
“Iya mas Damar. Bahagiamu akan jadi bahagiaku, dukamu akan
jadi dukaku.
Tuhan, walau apapun yang akan datang menerpa kami di depan nanti. Teguhkan hati kami, pererat benang merah yang Engkau sambungkan diantara kami.
Tuhan, walau apapun yang akan datang menerpa kami di depan nanti. Teguhkan hati kami, pererat benang merah yang Engkau sambungkan diantara kami.
Aku ingin bersama dia, bukan hanya di dunia-Mu namun juga di
alam kekekalan-Mu nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar