Sabtu, 01 Agustus 2015

Ceritaku dan Rizal



 Cerpen ini aku tulis tahun 2012 namun baru sekarang sempat di publis.Cerita ini 100% adalah fiksi dan khayalan penulis. Semoga menghibur :)                       
 Ceritaku dan Rizal      
 oleh : Asrida Saskia Novarida

Setelah beberapa menit berkendara. Temanku memintaku berhenti disebuat apotik.
            “Berhenti disini. Ini apotiknya.”katanya seraya menepuk-nepuk pundakku pelan.
“Oh..disini.”jawabku, lalu dengan santai aku menurunkan kecepatan dan mengehentikan laju kendaraan di tempat parkir apotik itu, tepat di depan apotik itu.
“Tunggu disini sebentar. Tidak lama kok.”katanya lalu lekas turun menuju apotik itu. Aku melihat dia menaikki 3 anak tangga dan berbaur bersama pengantri lainnya.
“Bener ni, tidak lama?”batinku saat melihat kerumunan pengantri itu.
            Hari hampir sore. Aku masih menunggu temanku mengantri obat di apotik. Tepatnya di sebuah apotik di Jalan Serma Zakaria pasar atas Baturaja.  Kusandarkan tubuhku di motor bebek merahku. Kutatap kakiku, lalu menyilangkan kedua tanganku di depan dada. Entahlah sudah berapa kali aku mengganti posisi kakiku. Tak lama datanglah beberapa anak datang mendekati apotik itu. Mereka mulai masuk kedalam.       
“Pak, semir Pak..” anak-anak itu menawarkan jasa mereka kepada orang-orang yang ada disana.
Kupandangi mereka, sambil sesekali aku pura-pura tak melihat mereka. Pakaian mereka terlihat asal-asalan. Ada yang memakai celana seragam SD, baju olahraga sekolah mereka, ataupun pakaian yang kelihatan kebesaran untuk badan mereka yang kurus. Mereka membawa tas kecil lalu diselempang ke tubuh.
“Bang! semir Bang! Sudah kotor sepatunya.”salah satu  dari anak-anak itu menghampiriku, dia berkata dengan nada yang menurutku sedikit kasar. Tampaknya dia adalah anak tertua dari pada yang lain. Wajanya lebih mirip preman ketimbang tukang semir jalanan.
“Tidak dik.” jawabku singkat. Aku benar-benar tidak suka dengan cara bicaranya. Nampaknya dia terlihat agak kesal dengan jawabanku.
“Ayolah kak..sini aku liat dulu sepatunya.” Kini dia berjongkok dan mencoba melepaskan sepatu yang menutupi kakiku. Tentu saja, dengan sigap aku menarik kaki kananku itu.
“Sudahlah dik, tidak perlu!” aku mulai meninggikan nada suaraku, namun masih bisa mengendalikan emosiku.
Dia nampak kaget lalu lekas berdiri. Dilemparkannya tatapan sinis ke arahku. Lalu berjalan menjauh. Dia tidak bergabung dengan teman lagi, mataku mengikutinya sampai bayangannya hilang di ujung lorong dekat apotik itu.
“Kenapa anak itu, seperti berandalan sikapnya.”batinku, lalu kuhembuskan nafas.
“Kak..boleh tidak saya semir sepatunya?” seorang bocah mengangetkanku. Mataku langsung beralih matanya. Mataku terperangkap dengan mata lirih anak itu. Sejenak aku terdiam. Aku menerka-nerka umurnya. Kukira masih sekitar 7 atau 8 tahun. Bajunya sangat tak layak pakai. Ada sobek disana sini. Sendal yang dikenakannya pun beda sebelah, satu berwarna kuning dan satu lagi berwarna putih kusam.
“Kak? Boleh tidak?” dia mengulangi pertanyaannya, menyadari bahwa aku terdiam melihatnya.
“Ah..tidak usah dik.” Aku menjawab seramah mungkin. Tak terbayang olehku jika anak ini aku. Apa anak ini tidak sekolah? Kemana orang tuanya?. Begitu banyak pertanyaan berkecambuk dipikiranku. Aku tak menyadari mata anak itu berubah menjadi redup dan gelisah.
“Untuk kakak akan kuberi setengah harga, dari harga biasa. Aku bisa susah jika tak membawa uang.”katanya lagi. Ah! Jadi dia ingin mengemis?
“Sudahlah. Jangan menipuku, aku sudah sering bertemu dengan orang yang memelas untuk mencari uang.”kataku ketus. Setidaknya aku ingin memberi sedikit pelajaran untuknya.
“Astagfirullah..jika kakak tidak ingin saya semir sepatunya tidak apa-apa. Tapi kakak jangan berburuk sangka.”jawab bocah itu lalu berlalu mencari orang lain untuk disemir sepatunya. Mataku terbelalak, anak sekecil ini menceramahiku?
Mataku mengikutinya. Sekarang bocah itu tengah tersenyum lembut menyemir sepatu Pak tua. Semakin membuat hati ini terhenyak.
“Fa..Fa..Daffa!” aku tak sadar temanku, Ali Nugraha, telah berada di depanku dan melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku.
“Ah! iya iya..kenapa Ga? Sudah selesai?”tanyaku cepat.
“Kok kamu benggong? Sedang melihat apa?” Nugraha kini ikut-ikutan melihat anak kecil yang sedang menyemir sepatu itu.
“Loh? Itu kan anak yang biasanya nganterin Koran kerumah. Jadi dia tukang semir juga?”ujar Nugraha. Aku cepat-cepat menoleh kearahnya. Loper Koran katanya?.
“Serius kau? “tanyaku tak percaya. Mataku terbelalak. Teringat lagi kejadian beberapa menit yang lalu. Saat aku menolak jasa semirnya.
“Iya, kalo tidak salah namanya Rizal. Dia yatim piatu, dia pernah cerita padaku. Terus dia bilang, sekarang dia tinggal dengan Pamannya di daerah pasar pucuk.”jelas Nugraha.
Alangkah malunya! Betul-betul memalukkan raga ini. Seharusnya aku yang diberi pelajaran. Dengan angkuhnya aku berkata bahwa dia bermaksud menipuku. Aku mengusap-ngusap wajahku. Sungguh aku malu dengan perbuatanku terhadap anak itu. Saat aku seumuran dengannya, hanya dengan menanggis maka orang tuaku akan memberikan apa yang ku mau. Sedangkan dia? Harus kerja banting  tulang untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya. Miris.
****
Terik mentari terasa sangat panas di permukaan kulitku Rasanya sang surya itu berada tepat diatas kepalaku. Aku tengah mengendari sepeda motorku, dalam perjalanan pulang kerumah sehabis bekerja sebagai sales di sebuah dealer motor di Baturaja.
Seperti biasa, jika pulang aku akan melewati taman kota Baturaja dan rumah sakit umum. ­­Meskipun di hari yang panas seperti ini, jalanan tak sepi. Banyak pedagang yang berjualan di sekitar area rumah sakit. Aku tidak memperdulikan hal ini sedikitpun. Aku memainkan gas motorku dan yang ada dipikiranku hanya satu, pulang dan tidur.
Motorku membawaku mendekati gedung DPR OKU yang notabene masih berada didekat taman kota Baturaja. Aku mulai memelankan laju motorku. Ada keributan kecil di pinggir jalan depan kantor DPR OKU itu. Rasa penasaran menggelitik sanubariku. Tak kuasa aku menahan diri untuk ikut memarkirkan motorku dan bergabung dalam kerumunan itu.
“Bawa ke rumah sakit saja Pak.”
“Sepertinya akan semakin parah.”
“Apa ada yang mengenalnya.”
“Kasian sekali….”
Ku dengar kerumunan itu berbicara.Sepertinya kecelakaan, siapa korbannya? Aku terus menerka dalam hati. Langkahku semakin dekat menuju sumber keributan kecil itu. Dan….
“Astagfirullahal’azim! Rizal!” aku menjerit spontan.
Wajahku berubah pucat, kakiku sedikit gemetar. Kutegarkan diri dan melangkah menuju tubuh yang tengah dirangkul oleh seorang bapak-bapak berkumis tebal. Kulihat dengan jelas, tubuh mungil itu tengah tergeletak. Dengan darah segar mengalir dari pelipis matanya. Terlihat luka disana-sini. Didekatnya nampak banyak bekas gelas air mineral, aku tak mengerti apa yang terjadi.
“Anda keluarganya?”Bapak berkumis tebal itu memananyaiku yang sedang kebinggungan.
“Ahh…Ah..Bu..Bukan Pak! Tapi saya tau siapa anak ini. Akan saya jelaskan nanti, sekarang tolong kita selamatkan nyawanya.”dengan tak sabar kugendong tubuh Rizal yang ringan itu.
“Nak, sebaiknya masuk ke mobil Bapak saja.”tawar Bapak itu. Aku segera setuju dan meminta Bapak itu untuk mengantarnya kesana dan aku di belakangnya mengendarai motorku. Rumah sakit tak begitu jauh dari gedung DPR. Hanya butuh waktu sekitar 7 menit untuk sampai dengan mengendarai kendaraan.
Kami sampai di Rumah Sakit umum terdekat. Aku bergegas memarkikan motorku dan berlari menuju mobil tempat Rizal dibawa.
Dengan tak sabar kugendong tubuh Rizal, dan belari membawanya masuk ke Rumah Sakit itu. Bapak berkumis tebal itu pun juga mengikutiku dari belakang. Syukurlah..kurasa Bapak ini bukanlah orang yang tak tau rasa kasihan. Aku membawa Rizal ke ruang IGD.
Seorang perawat memberiku instruksi untuk membaringkan tubuh Rizal pelan. Kubaringkan perlahan Rizal yang pingsan diatas ranjang beroda. Perawat itu mulai memeriksan keadaannya.Dia membersihkan luka-luka di tubuh Rizal dengan sebuah cairan khusus. Lalu perawat lain menghampiri kami.
“Mohon ditunggu sebentar dokter akan segera datang.”ujar perawat itu pada kami.
Maka tak lama seorang dokter datang. Dia mengenakan jilbab dan berkacamata. Wajahnya sungguh bersahaja. Dengan sigap di memeriksa ulang keadaan Rizal.
“Tutup pendarahannya.”perintah sang Dokter. Para perawat langsung mengerti dan menyiapkan beberapa alat medis untuk melakukan operasi itu.
Aku pernah melihat ini di film-film, dan rasanya tak percaya jika aku harus melihat langsung kejadian ini. Kulihat jarum suntik ditancapkan pada lengan Rizal, nampaknya itu obat bius. Entahlah aku tak begitu paham masalah medis.
“Nak, saya tidak tahan melihat yang seperti ini. Bau alkoholnya pun menusuk-nusuk hidung saya. Bisakah kita keluar?”Bapak yang bersama ku tadi menegur dalam lamumanku.
“Baik Pak.”aku menurut dan kami keluar dari ruangan yang sedikit menegangkan itu.
Kami sama-sama duduk di ruang tunggu pada rumah sakit itu. Kursi di sini terlihat usang. Warna hijaunya tak tampak lagi seperti warna hijau.
“Sebelumnya perkenalkan, nama saya Hardiman.”ujar sang Bapak memulai percakapan. Ah! Rupanya Bapak ini namanya Hardiman, Untung saja aku tak memanggilnya Bapak kumis tebal.
“Iya Pak, nama saya Daffa Pak.”aku menyalami tangan Bapak itu.
“Kalo boleh Bapak tau, Daffa ini kenal anak itu darimana?”tanya Pak Hardiman kepadaku.
“Dia seorang loper koran dan tukang semir sepatu Pak. Saya pernah bertemu dengannya sebelum ini.”jelasku. Terbersit lagi kejadian saat aku tengah di apotik bersama temanku.
“Maaf Pak, sebenarnya bagaimana kejadian kecelakaan Rizal bisa terjadi?”tanyaku. Aku sangat ingin tau.
“Saya juga kurang paham. Kata orang-orang tadi, Rizal ini korban tabrak lari. Ada yang bilang anak ini mencari gelas air minum kosong, dan saat ingin menyebrang sebuah motor melaju kencang lalu menabrak Rizal. Bapak juga sama dengan kamu, penasaran dan memakirkan mobil untuk melihat apa yang terjadi itu. Sungguh mmengecewakan. Tak ada dari mereka yang berani menyentuh tubuh anak yang kau sebut Rizal itu. Mereka takut disusahkan. Tampaknya bangsa ini perlahan mulai kehilangan karakter diri.”jelas Pak Hardiman panjang lebar. Matanya menerawang jauh.
Aku ikutan terdiam. Lalu kutatap lengan baju kemejaku yang panjang. Masih nampak bekas darah yang sedikit mengering di tanganku.
“Apa rasa kasihan mereka telah luntur? Apa tak pernah membayangkan jadi anak ini? Aku pernah menolak jasa semirnya dan aku menyesal sekarang. Mungkinkah mereka juga akan merasakan hal yang sama nanti. Menyesalkah mereka nanti?”mulutku tanpa sadar mengeluarkan kata-kata. Tatapan mataku kosong, tangan kukepal kuat-kuat. Ada perasaan kesal, sedih dan khawatir yang saling berkecamuk.
“Allah itu maha adil nak, Dia akan memberikan kita yang terbaik dan setiap yang kita perbuat meskipun hanya sebesar biji sawi maka niscaya akan dibalas jua oleh-Nya.”Pak Hardiman mengelus pundakku pelan. Aku mengerti, beliau mencoba menenangkanku. Aku mengangguk pelan.
“Pak. Bapak keluarga dari anak tadi?”seorang perawat yang memeriksa Rizal tadi datang menghampiri kami.
“Kami ini kenalannya. Dia sudah tak punya orang tua lagi mbak.”jelasku hati-hati.
“Hmm, baik. Silahkan masuk kedalam kami telah selesai.”perawat itu masuk kembali keruangan itu. Diikuti oleh aku lalu Pak Hardiman dibelakangnya. Kami masuk, kepala Rizal dibalut perban. Wajahnya juga terlihat pucat. Sang Dokter mempersilahkan kami duduk di kursi yang ada di depan meja kerjanya.
“Bagaimana keadaan Rizal Dok?”Pak Hardiman bertanya dengan tak sabar.
“Dia baik-baik saja Pak. Tidak ada luka serius. Dia pingsan karena shock, bisa jadi ini adalah kecelakaan pertamanya.”jelas sang Dokter. Aku yang mendengar ber-O ria dalam hati. Perasaan senang dan haru mulai menyelimuti kalbu. Syukurlah…
“Ini saya berikan resep obat. Tolong ditebus di apotik dan diminum teratur.”sang Dokter menyodorkan selembar resep obat kepada Pak Hardiman. Tulisan dalam kertas itu begitu berantakan, dalam satu kata aku hanya bisa mengidentifikasi 1 atau 3 huruf saja. Selebihnya aku tak tau. Dokter itu lalu berlalu meninggalkan kami dan memeriksa pasien lain.
“Biar saya saja Pak yang menebus obatnya.”tawarku.
“Tak apa, biar Bapak saja. Dari awal niat Bapak juga ingin membantu anak ini.”ujarnya padaku. Kulihat kesungguhan dibalik bola matanya yang terlihat redup. Aku hanya bisa mengiyakan.
Rizal dipindahkan ke kamar pasien, sementara kami pergi untuk menebus obat. Sepanjang perjalanan kami saling bertukar cerita mengenai diri masing-masing. Ternyata Pak Hardiman ini seorang pengusaha furniture dari Bandung.
Kami kembali dari apotik di depan rumah sakit itu. Dan menuju kamar Raflesia tempat dimana Rizal dirawat. Kami membuka pintu kamar itu dan mendapati Rizal telah membuka matanya. Pucat di wajahnya perlahan hilang.
“Zal..”sapaku saat kami menghampirinya. Dia menoleh kearah kami dengan wajah datar.
“Saya dimana?”itulah kata yang terlontar dari mulutnya.
“Kau di rumah sakit umum Zal.”jawabku lalu mendekatinya, untuk memastikan lebih dekat bahwa memang benar wajahnya tak sepucat tadi.
“Kakak..kakak yang waktu itu kan? Yang menolak kusemir sepatunya.”terka Rizal. Aku kaget bukan main, rupanya dia masih mengingatku.
“Ah.. i..iya Zal.”jawab ku meringis malu. Aku menoleh kebelakang dan melihat Pak Hardiman duduk di kursi di kamar pasien itu, menyaksikan percakapan kami.
“Apa yang terjadi denganku kak? Dan kenapa kakak tau namaku Rizal?”pikirannnya mulai sadar. Dan kini dia mencoba menginstrogasiku, sudah kuduga ini akan terjadi.
“Kau ditabrak seseorang tadi dijalan, Bapak itu menolongmu aku hanya membantu sedikit. Kau kenal temanku yang bernama Nugraha? Katanya kau menjadi loper koran di rumahnya.”jawabku seraya menoleh kearah Pak Hardiman. Pak Hardiman tersenyum ramah. Rizal mencoba bangkit dari kasur pasien itu.
“Jangan bangun dulu, kau masih belum sembuh betul.”ujarku dan spontan merangkul tubuh kecilnya.
“Arghh!”dia meringis kesakitan sambil memegang kepalanya yang dibalut perban. Pak Hardiman segera bangkit dari kursinya dan membantuku membaringkan pelan tubuh Rizal.
“Aku ingin berterima kasih kepada Bapak dan kakak.”kata Rizal seraya memegang tangan Pak Hardiman lalu tanganku.
“Tapi rasanya kurang sopan jika saya mengucapkan ini sambil berbaring seperti ini.”lanjutnya, sorot matanya begitu memancarkan rasa bersyukur. Aku dapat melihat hal itu.
“Iya, jangan merasa sungkan. Sudah seharusnya kita sesama manusia harus saling membantu dalam keadaan yang susah.”jawa Pak Hardiman. Rizal tersenyum lemah.
“Dimana rumahmu?”Pak Hardiman kembali mengajukan pertanyaan pada Rizal, dia menarik sebuah kursi jati mendekati ranjag tempat Rizal berbaring. Aku belum merasa pegal dan tetap berdiri di samping ranjang Rizal.
“Di daerah pasar pucuk Pak, rumah saya masuk lorong Kandis.”jawabnya lirih.
“Tinggal bersama siapa?”tanya Pak Hardiman lagi.
“Sama Paman dan kakak-kakak saya Pak.”Rizal mengelus-ngelus perban kepalanya pelan. Pak Hardiman diam sejenak lalu lanjut bertanya lagi.
“Pamannya kerja apa?”Pak Hardima meletakkan tangannya di atas ranjang Rizal. Rizal diam, dia berhenti mengeleus-ngelus perbannya dan menoleh kearah Pak Hardiman. Lalu Rizal menggeleng pelan.
“Tak tau.”ujarnya lirih. Aku ikut terkejut, bagaimana bisa anak ini tak tau apa pekerjaan orang yang tinggal serumah dengannya. Dan bagaimana mungkin Pamannya membiarkan anak sekecil ini mencari nafkah?
“Pak..kapan saya boleh pulang?”Rizal melanjutkan jawabannya dengan pertanyaan. Pak Hardiman menoleh kearahku, seperti meminta jawaban.
“Ah..Zal, lukaku tidak parah. Kau boleh pulang hari ini juga. Aku akan mengantarmu.”aku spontan menjawab. Rizal Nampak lega.
“Assalamua’laikum..”seorang dokter masuk ke kamar pasien Rizal bersama perawatnya. Seisi ruangan menjawab salam itu.
“Saya ingin memeriksa keadaannya Pak.”ujar sang dokter ramah. Dokter ini bukanlah dokter yang merawat Rizal sebelumnya. Dokter ini juga mengenakan jilbab, tetapi tanpa kacamata dan lebih terlihat muda disbanding dokter sebelumnya.
“Iya dok, silahkan.”jawab Pak Hardiman dan menarik kursinya kembali ketempat asalnya.
Aku dan Pak Hardiman diam berdiri menyaksikan sang Dokter dan perawatnya memeriksa keadaan Rizal. Terlihat sang Dokter dengan ramahnya memberikan nasehat kepada Rizal, dan sang perawat menyuntikan sesuatu ke lengan Rizal.
“Dia bisa pulang hari ini juga. Mungkin sekitar jam 3 sore nanti.”sang Dokter berkata setelah mendekati kami yang berdiri di dekat pintu.
“Terima kasih Dok.”jawabku.
“Obatnya sudah ditebus?”tanya dang dokter lagi. Aku segera mengambil bungkusan yang sebelumnya kuletakkan di meja kamar pasien itu.
“Ini obatnya Dok.”jawabku seraya menyerahkan bungkusan itu. Sang dokter mengecek obat-obatan didalamnya.
“Jangan lupa ingatkan di selalu untuk meminum obatnya.”sang dokter itu menyerahkan kembali bungkusan itu kepadaku. Aku mengangguk, lalu sang Dokter beserta perawatnya berlalu menuju kamar pasien lainnya.
“Kau boleh pulang jam 3 sore nanti.”Pak Hardiman mengelus-ngelus pelan kepala Rizal. Rizal tersenyum ramah.
Aku memperhatikan tubuhnya yang terbaring itu. Kepala diperban, kaki dan tangan penuh luka dan bajunya yang sobek. Rasa penasaran menggerogoti relung hatiku, kenapa sampai ada seorang bocah di Baturaja ini yang berkerja dengan kerasnya. Untuk apa semua itu?
Menjadi tukang semir sepatu, loper koran dan sekarang aku tau bahwa dia juga pemulung barang bekas.
Dimana orang yang seharusnya bertanggung jawab? Aku harus mencari tau hal ini. Aku harus mengungkap ini. Tak tahan batinku melihat anak sekecil ini kehilangan masa kecilnya yang bahagia.
****
“Lorong kandis itu dimana Zal?”tanyaku saat kami tengah melewati jembatan Ogan yang sedikit ramai karena malam hari.
Jika di sore hati akan terlihat erlihat disisi kanan dan kiri ada orang yang memancin.. Di bawah jembatan, warga akan membersihkan diri dan tak perduli bahwa di sisi sungai Ogan yang lain ada orang yang sedang membuang hajat. Kadang aku merasa jijik, tapi kadang iri karena aku belum pernah mandi di sana.
“Di dekat toko kue Bakery kak.”jawabnya sambil terus memeluk erat tubuhku yang sedang mengendari sepada motor bebek merahku.
            Pak Hardiman akhirnya membiarkanku mengantar sendiri Rizal, setelah aku berhasil meyakinkannya bahwa ini bukan perkerjaan yang susah. Sebelumnya Pak Hardiman mendesakku agar kami bersama mengantar Rizal dengan mobilnya. Aku menolak karena kurasa bakal susah mobil masuk kedalam lorong. Tetapi Pak Hardiman terus memaksa kami untuk makan bersamanya, dan jadilah aku baru bisa mengantar Rizal malam-malam seperti ini.
            Kami melewati barisan toko yang telah banyak tutup dan terus melaju. Lalu sampailah kami pada sebuah gang kecil di deretan toko kue yang disebut-sebutnya sebelum ini.
            “Masuk sini kak..”ujarnya menunjuk lorong yang terlihat sempit itu.
            “Motor bisa masuk ga?”tanyaku sambil melihat gang yang nampak sangat kecil itu.
            “Jalan saja kita kak, tidak jauh rumahku dari sini.”jawabnya. Aku berpikir lalu mengiyakan sarannya. Aku memarkirkan motorku di depan sebuah bank yang telah tutup dan meminta pak satpam untuk menjaga motorku. Untunglah Pak satpam dengan perut buncit itu baik dan tidak menolak permintaanku.
            Aku dan Rizal mulai berjalan memasukki gang kecil itu. Sungguh jalan yang sempit dan gelap, jalan yang kami lalui pun terkadang berair. Entah air apa itu. Suasana juga begitu sepi disana, hanya terlihat anak-anak yang tampak seperti preman melalui jalan itu. Kami terus berjalan dan tak lama setelah melewati tikungan kulihat rumah dari kayu. Rumah itu bercat hijau pudar, dan nampak agak lapuk dimakan zaman.
            “Plak!”kudengar bunyi yang begitu kuat dari dalam rumah itu. Aku begitu kaget tetapi Rizal nampak tak terkejut mendengar suara itu.
            “Sudah kubilangkan! Satu hari itu kau harus bawa uang! Berapa pun jumlahnya! Sudah 2 hari kau lakukan hal ini! Plak!”kini kudengar suara lelaki dengan garangnya marah. Lalu kudengar suara anak kecil menanggis terdesu.
            “Ampun Pak.”kata anak di dalam rumah itu.
            “Suara apa itu?”mulutku mengeluarkan kata-kata tanpa kusadari.
            “Itu pasti Paman.”jawab Rizal santai. Aku menahan dia yang hendak masuk ke dalam rumah itu saat ku dengar suara pintu dibuka.
            “Jangan pulang sebelum kau berikanku uangmu!”dengan kasarnya lelaki itu mendorong tubuh anak kecil yang menanggis itu lalu masuk kedalam. Aku cepat-cepat membungkam mulut Rizal dan bersembunyi dibalik tikungan pada gang yang sempit itu. Aku mulai mengerti semua ini. Anak kecil yang dipukulnya tadi berlari dan tidak melihat kami.
            “Jangan bilang padaku, bahwa itu rumahmu!”tanyaku pada Rizal, aku menguncang-nguncang tubuh kecilnya.
            “Iya itu rumahku, dan lelaki tadi adalah pamanku.”jawabnya dengan santai.
            “Apa kau sudah gila?! Kau lihat apa yang baru saja dia lakukan terhadap temanmu?!”tanyaku lagi. Aku mulai geram mengingat sikap yang dilakukan lelaki tadi.
            “Tapi Paman memberi kami makan dan mainan. Aku juga tidak punya tempat tujuan, paman hanya memarahi anak yang malas kak.”jawabnya lagi. Aku semakin geram, bisa-bisanya anak sekecil ini tinggal di tempat yang mengerikan seperti itu.
            “Aku tak akan membiarkanmu tinggal ditempat seperti ini! Ayo kita pergi!”kataku dengan tak sabar aku menarik tangannya. Tetapi ada seseorang yang menepis tanganku dengan kasar.
            “Jangan macam-macam kau!”ruapanya lelaki di dalam rumah itu telah keluar dan kini dia berada di depan mataku. Aku kaget bukan main, tampaknya lelaki ini mendengar apa yang kami bicarakan. Aku mengandeng tangan Rizal erat dan berlari keluar dari gang itu. Lelaki garang itu mengejar kami membabi buta. Sesekali dia berteriak menyuruh kami berhenti. Perasaaan takut mulai menyelimuti pikiranku. Hari ini sudah malam, tak banyak orang yang berlalu lalang. Dan aku teringat dengan Pak Satpam di depan bank itu.
            “Brukk!” Rizal tersungkur di belakangku. Ternyata aku terlalu cepat berlari. Tanpa banyak berbicara aku menggendong tubuh Rizal dan terus berlari. Akhirnya kami sampai di depan bank itu. Namun sayang, hanya motorku yang ada. Tak tau dimana Pak Satpam itu pergi.
            Otakku berpikir keras, tetapi terlambat. Lelaki itu kini telah berada di depanku. Rizal mulai menanggis takut.
            “Kembalikan anak itu!”desaknya padaku sambil menodongkan pisau tajam kearahku.
            “Tak akan! Manusia keji sepertimu tak pantas mendekati anak ini.”balasku kasar.
            “Kau ingin mati ya?!! Kembalikan kataku!”dia berlari kencang kearahku hendak menghunuskan pisaunya, aku berusaha menghindar tetapi lenganku terkena ketajaman benda itu. Rizal menjerit. Lalu terdengar suara sirine menuju kearah kami. Lelaki berpisau itu panik bukan kepalang. Dia melotot kearahku. Lalu dengan ganasnya menyerang Rizal, aku berusaha melindungi Rizal dan pisau itu terhunus ke perutku.
            Dia kemudian lari, kesadaranku menghilang. Tubuhku terjatuh dijalan yang dingin itu. Rizal menanggis disebelahku. Dia memanggil-manggilku.
            “DOR!”kudengar suara itu sesaat sebelum aku kehilangan kesadaranku. Apa aku akan mati?
tanyaku dalam hati.
****
            Bau apa ini? Bau obat? Kenapa bau obat begitu menyengat? Aku dimana?
Perlahan ku buka mataku. Dinding putih. Ah! Pasti rumah sakit. Aku teringat akan kejadian tadi malam. Rupanya aku telah berada dirumah sakit. Kuraba perutku, dan kulihat pakaianku telah berubah menjadi perban.
            “Bagaimana perasaanmu?”seorang perawat menghampiriku.
            “Baik. Mbak, bagaimana keadaan anak kecil yang bersamaku?”tanyaku lemah.
            “Dia sedang tidur disana, dia terlihat lelah. Beistirahatlah, besok baru akan kami hubungi keluargamu.”jawab perawat itu dan mengecek selang imfusku. Aku seolah terbius, mataku terpejam tanpa sebab. Benar sebaiknya aku tidur. Syukurlah Rizal tak apa…
****
            Pagi itu aku merasa lebih baik. Aku juga sudah bisa berbicara dan bercengkrama dengan Rizal. Aku tak ingin dia shock dengan kejadian semalam, makanya aku belum bertanya apa-apa padanya tentang kejadian semalam itu.
Kata perawat yang memeriksaku tadi pagi, lelaki yang menyerangku ditembak saat mencoba kabur dan kehilangan banyak darah lalu meninggal. Akhirnya seluruh anak yang dipekerjakannya ditampung di panti Asuhan An-Nur Baturaja.
Dan polisi-polisi itu datang atas laporan Pak Satpam penjaga Bank itu. Ternyata dia tengah pergi ke toilet malam itu. Keluargaku pun telah dihubungi, Ibu menanggis saat aku menelponnya. Dan mereka sedang menuju kesini.
            “Kak Daffa, sekolah itu apa sih?” Rizal bertanya dengan polosnya saat aku bertanya tentang sekolah. Aku tersenyum geli.
            “Sekolah itu tempat yang menyenangkan, jika masuk kesana kau akan banyak belajar dan menjadi apa yang kau inginkan. Rizal cita-cita apa nanti?”aku mengelus kepalanya pelan.
            “Cita-cita? Apa itu kak?”tanyanya lagi.
            “Cita-cita itu adalah sesuatu yang ingin kau capai. Bisa dokter, polisi, arsitek, dan lain-lain. Jadi cita-citamu apa Zal?” aku tersenyum lembut kearahnya. Dia tampak berpikir keras.
            “Ingin jadi Power Ranger!”jawabnya semangat.
            “Cita-cita yang bagus.”pujiku sambil tertawa geli, rupanya anak ini belum menemukan cita-citanya.
            Tak lama keluargaku datang. Ibu menaggis saat melihat tubuhku dibalut perban. Pak Hardiman dan Nugraha juga datang, berita tentangku ada di koran pagi ini. Aku memperkenalkan Rizal dan  menceritakan semua yang terjadi. Semua begitu terkejut mendengarnya.
            “Ibu, ijinkan Rizal tinggal bersama kita. Aku ingin merawatnya hingga dapat menjadi orang yang berguna.”kataku tegas. Ibu terlihat kaget lalu tersenyum lembut. Dibelainya lembut rambut Rizal. Lalu beliau menoleh kearah Ayah.
            “Boleh saja, siapa yang akan menolak anak semanis ini untuk tinggal dirumah. Kau juga anak tunggal, jadi kita angkat dia sebagai adikmu.”kata Ayah bijak. Aku tersenyum senang.
            “Maaf jika lancang,tetapi ijinkan saya untuk menyekolahkan anak ini hingga sukses.”Pak Hardiman memotong percakapan kami. Kami menyambut pertolongan itu dengan senang hati.
            “Jadi Rizal tidak perlu menyemir sepatu lagi? Tidak perlu loper koran lagi? Memulung lagi?”kata Rizal sambil bercucuran air mata.
            “Tidak perlu Rizal, sekarang kami keluargamu. Aku ibumu sekarang.”Ibu mendekap tubuh Rizal lembut.
Suasana berubah haru. Tak kusangka pertemuanku dengan Rizal hari itu menuntunku hingga hari ini. Syukurlah aku bisa menyelamatkannya. Semoga kelak dia akan menjadi sosok yang berguna yang dapat memakmurkan Baturaja ini, bahkan negeri ini.
Selamat datang ke rumah, adikku Muhammad Rizal.
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar