Senin, 30 Januari 2017

The Rain Fairy



Janjimu padaku akan datang saat hujan datang. Tapi kamu tak datang jua. Perpisahan kita waktu itu, aku selalu berharap tidak pernah terjadi. Kamu selalu bilang akan menemuiku lagi. Setiap hujan datang aku selalu memandang keluar. Berharap sosokmu menghalangi pandangku terhadap rintik air. Aku selalu menunggumu. Dan sekarang aku tidak tahu. Apa kamu akan datang atau tidak. Aku mulai menggangapmu pembohong.

            “Searan, kamu selalu begini. Telponku tidak kamu angkat lagi?!”, Ini suara yang begitu kukenal, Zen, dia teman sekamarku.
            “Ah Maaf.”, balasku
            “Aku jadi kebasahan. Coba kamu angkat telponku dan menjemputku. Aku tidak perlu berlari menembus hujan begini.”, keluh Zen. Kulihat dia mulai mengacak-acak rambut panjangnya dengan handuk.
            “Sudahlah, wajah tampanmu sesekali harus merasakan hujan.”,
            “Kau itu tidak pernah berpikir dua kali kalo bicara.”
            Aku menghembuskan nafas panjang. Yasudahlah, aku tidak sanggup lagi berdebat dengan dia.
            “Mulai lagi. Kau sendiri tau dia tak akan datang. Berhentilah.”, suara Zen terdengar khawatir juga kesal.
            “Dia akan datang.”, setidaknya itulah yang ingin kupercayai.
Begitulah percakapan ini diakhiri dengan dengusan kesal Zen.

Satu setengah tahun yang lalu.
Hari ini cuaca sedang cerah. Aku benar-benar suntuk dengan pekerjaanku. Aku seprang estimator proyek konstruksi. Tugasku menghitung anggaran biaya sebuah proyek tapi hidupku tak bisa kuperhitungkan.
Pagi ini bos-ku sudah marah-marah karena pekerjaanku tidak ada kemajuan. Jujur saja aku sudah jenuh dengan pekerjaan ini. Baru seminggu aku bekerja, tapi aku merasa lingkungan kerja disini membuatku gerah.
Roof gendung kantor adalah tempat kesukaanku. Jam istirahat siang lebih banyak kuhabiskan diatas sini. Gedung ini memiliki 10 lantai. Dari sini aku bisa leluasa memandang langit. Berpikir cara bagaimana aku bisa mendapat pekerjaan lain dan keluar dari tempat ini.
Asap-asap menggepul di depan wajahku. Meski begitu aku tidak terganggu,  teman kecil ini yang menciptakannya. Aku tidak ingin sejak kapan benda ini mulai ikut bersamaku. Sehari saja asap tidak muncul dari mulutku, rasanya ada yang kurang. Ini hembusan asap terakhir, putungnya kuinjak kuat-kuat memastikan api sudah padam.
Aku mulai melamun jauh. Mentari sedang tertutup awan, sehingga mataku bisa leluasa memandang langit.
            “ Coba saja gajiku lebih besar, bosnya lebih ramah. Aku pasti betah kerja disini.”, batinku. Tak lupa pula aku menyisipkan hembusan nafas disetiap kata-kata keluhanku. Aku mulai berpikir jauh, dan perhatianku tercuri oleh benda asing berkilau yang mulai jatuh mendekatiku. Otakku seperti kehilangan setengah kesadaran begitu benda itu semakin dekat. Tanpa sempat aku berpikir lama benda itu telah menghampiri wajahku.
            “Aduh!”, seruku. Aku merunduk sedikit dengan tangan tetap memegang jidat. Aku mencoba mengamati sekeliling, tapi benda itu sudah hilang.
            “Maafkan aku.”, Suara ini terdengar jelas berasal dari belakangku. Refleksku sangat bagus kepalaku kini telah berputar mengikuti asal suara berasal.
Mataku seperti tersihir, setidaknya dalam hidupku dia wanita tercantik yang pernah kulihat. Dia menggenakan dress biru laut selutut. Rambut panjangnya dihiasi pita berwarna senada.
            “Siapa kamu?”, ya, pertama aku harus tau dia siapa atau ‘apa’.
            “Kamu tidak perlu tau aku siapa. Yang pasti aku disini karena semua keluhanmu telah sampai ke awan. Aku tidak sanggup mendengarnya lagi.”, wanita ini membuat ekspresi tidak senang. Ini pertemuan pertama kami tapi dia seperti telah mengenalku lama.
            “Hah?”, kebinggungan adalah hal pertama yang kulakukan.
            “Kamu sangat membuatku kesal. Kamu terus mengeluh sambil menatap langit. Langit terlalu bagus sebagai tempatmu mengeluh.”, dia terus-terusan berbicara. Kali ini kedua tanganya ia silangkan didepan dada.
            “Pokoknya, mulai sekarang aku akan membuatmu berpikir lebih baik tentang hidup.”,
Dia terus berbicara dan tak sadar bahwa aku telah cepat-cepat meninggalkan tempat ini.
            “Hei !! Jangan pergi !”, pekiknya.
            Aku tak mengerti, tapi aku yakin keputusanku melarikan diri adalah hal yang sangat bagus. Aku cepat-cepat berlari, aku punya firasat dia akan menyusahkan hidupku.
            ****
            Disini pasti aman. Dia tak akan menemukanku disini. Gedung ini sangat luas. Aku yakin dia tak akan masuk kesini. Aku terus membantin seraya mengatur nafasku yang terengah-engah.
            “Bukaaaaaa, aku tau kau didalam! Hei ! Hei !!”, suara ini. Ya Tuhan, bagaimana bisa dia menemukanku disini. Di belakang suaranya kudengar pula orang-orang tampak kaget.
            “Sudah gila wanita ini, apa yang dia lakukan di toilet pria ???!”, kudengar salah satu orang mengatakan hal itu. Astaga, aku benar-benar tidak mengerti. Otakku dipaksa berpikir cepat sambil kudengar teriakan wanita aneh itu di depan pintu quible toilet pria ini.
            Pintu didepanku kembali dipukul-pukulnya dengan keras.
            “Hei buka! Jangan bersembunyi !”, suara wanita aneh ini semakin kencang. Ini benar-benar membuatku malu. Secepat mungkin aku membuka pintu quible itu. Kutarik tangannya mengikuti langkah kakiku yang semakin cepat. Sebentar lagi waktu istirahat siangku berakhir. Aku tak tau kenapa aku malah menarik tangan perempuan yang bahkan namanya saja aku tidak tau. Kakiku melangkah semakin cepat beriingan dengan langkah kakinya.
            “Mau kamu bawa kemana aku?”, dia tidak tahu mau kubawa kemana namun langkahnya tetap mengikutiku. Kami melewati beberapa ruangan. Turun dengan lift dan tak lama sampai di sebuah cafe didekat kawasan gedung kantorku.
            “Zen, jaga wanita ini sampai aku selesai kerja.”, aku segera berlari setelah meninggalkan perempuan itu bersama temanku. Mereka berdua tampak kebinggungan namun memilih untuk tidak menghentikanku. Aku sesaat lupa akan amarah bos tadi pagi karena pekerjaanku belum usai. Kupercepat lari berharap seperti inilah tugasku bisa cepat selesai.
****
Sudah seminggu perempuan aneh ini mengikutiku. Dia bilang namanya Nerrisa tapi dia enggan menyebutkan dari mana atasnya. Yang kutahu sekarang dia berasal dari ‘atas’. Untuk sementara kami ijinkan dia tinggal di apartemen kami.
            “Sudah kubilang jangan mengikutiku kemana-mana.”
            “Kamu kan tidak kerja, jadi aku boleh mengikutimu kemanapun.”, Aku tidak mengerti dengan perempuan ini. Karena pakaian asalnya terlalu mencolok akhirnya kuputuskan untuk membelikannya pakaian casual. Kini dia mengenakan maxi dress biru dongker dengan rambut diikat satu. Jujur saja, aku mulai terbiasa dengan kehadirannya.
            Kami sedang berada di dalam bus, menuju toko alat musik untuk mengambil gitarku yang telah selesai diperbaiki.
            “Pak sopir itu, dia sedang dalam masalah. Istrinya pergi dengan lelaki lain yang lebih kaya. Tapi dia jarang mengeluh, lihat saya sedari dari ia terus menebar senyum untuk penumpang.”, Lagi, Nerrisa selalu seperti ini. Dia selalu mengatakan sesuatu seperti ini seolah mengingatkanku untuk mensyukuri hidup.
            “Kenapa kamu selalu tau semua itu ?”, tanyaku
            “Ini semacam anugerah kurasa. Aku bisa tau masalah seseorang. Saat air mata mereka mulai jatuh, perasaan itu mengempul ke atas langit saat itulah hujan turun.”, Nerrisa mencoba menjelaskan sesuatu. Aku tak terlalu paham, entahlah wajahku cukup menampakan keheranan.
            “Intinya aku mau kamu jadi orang yang lebih berpikir baik. Besyukur atas hidup.”, matanya terlihat serius menatapku. Dia tidak sedang main-main, senyumnya yang manis itu sesaat menghilang. Sempat kukira dia orang lain.
            ****
Telah banyak yang kulalui bersamanya. Ini sudah Setengah tahun. Aku, Zen, dan Nerrisa. Hidupku sudah terbiasa dengan adanya mereka berdua. Aku tidak tau apa saja yang telah kulalui. Seingatku bulan lalu, aku dan Nerrisa menolong seorang anak penjual koran yang hampir tertabrak mobil. Saat kami singgahi rumahnya, sesak sekali saat kutahu ayahnya sedang terbaring sakit. Anak yang seharusnya sekolah itu memutuskan untuk berjualan koran demi obat sang ayah.
            “Aku malu sekali, aku bisa bekerja diperusahaan bagus. Gaji yang kusebut-sebut kecil bagi sebagian orang adalah jumlah sangat banyak.”, gumamanku terdengar oleh mereka berdua. Kami sedang berada di cafe Zen menikmati secangkir capuccino dan menatap hujan dari kaca jendela.
            “Dia sedang sakit, atau apa?”, Zen jelas tidak paham. Selama beberapa bulan ini, aku jadi lebih ‘aneh’ menurut dia. Kebiasaanku mengempulkan asap diwajah perlahan mulai kutinggalkan. Juga sekarang pekerjaan, kuselesaikan tepat waktu. Gajiku tetap seperti itu. Tapi aku mencoba bertahan, segala sesuatu yang luar biasa harus ada pengorbanan. Itulah yang sekarang aku percayai.
            Jika kutoleh ke belakang, aku jadi ingat semua ini karena kemampuan Nerrisa yang bisa menceritakan masalah orang-orang disekitarku.
            “Zen, bukankah kau pikir bagus dia seperti ini.”, aku melihat Nerrisa tersenyum. Ini tidak seperti senyum dia biasanya. Ada sedikit kesedihan disana tapi aku belum mengetahuinya.
****
            “Aku berterima kasih, untuk setiap detik yang kulalui bersamamu.”, Nerrisa memintaku untuk datang ke atap gendung kantorku. Hari ini sudah malam, aku memohon kepada petugas jaga agar mengijinkanku masuk setelah kuterima sepucuk surat dari Nerrisa dikamarku. Kini dia berada didepanku, berkata demikian membuatku berpikir yang bukan-bukan.
            “Bicara apa kamu. Sekarang sudah malam. Ayo kita pulang.”,jawabku. Aku mencoba meraih tanganya. Tidak seperti dulu saat pertama aku menggengam tangannya, kali ini aku mencoba menggenggamnya dengan lembut.
            “Aku punya batas waktu disini. Perjanjianku dengan penciptaku sudah dalam batasnya. Aku ingin bertanya satu hal. Kenapa kamu tidak pernah bertanya siapa aku sebenarnya. Mengijinkanku masuk dalam kehidupanmu.”, dia berkata dengan hati-hati. Aku bisa merasakan hangatnya tangan dalam genggamanku.
            “Karena aku takut mengetahui hal yang tak ingin aku ketahui. Hal seperti ini, bahwa kamu memiliki batas waktu untuk berada disisiku.”, aku terdengar terlalu berlebihan menanggapi hal ini tapi peri dari langit ini telah mencuri hatiku. Dia mengubah caraku berpikir, bersikap, dan menentukan pilihan.
            “Searan, dengarkanlah. Aku akan meminta kepada penciptaku agar kita bisa bertemu lagi. Tapi kamu harus memenuhi syarat ini. Tolong jangan mengeluh lagi. Lebih bersyukurlah dalam hidup. Jika memandang lagi ingatlah awal pertempuan kita. Seperti kataku, langit terlalu bagus sebagai tempatmu mengeluh. Jika...”,
            “Jika apa?”,
            “Jika semua itu bisa kamu lakukan. Kita akan bertemu lagi saat hujan.”,
            “Hujan?”,
            “Ya.. saat hujan datang aku akan menemuimu lagi.”
            Itulah kata terakhirnya padaku. Sebelum akhirnya dia perlahan menghilang seperti embun yang disinari mentari. Perlahan menguap, lalu luput dari pandangan. Aku merasa sangat sakit, jantungku seperti tertusuk duri tajam. Tangisan tak bisa kutahan. Tak lama hujan rintik datang, mulai membasahi pakaian yang kukenakan.
            “Apakah itu kamu?”, aku bertanya-tanya dalam harap.
***
           
“Ramalah cuaca hari ini, diperkirakan untuk seluruh kota X akan mengalami hujan gerimis sampai lebat sampai larut malam. Dihimbaukan untuk seluruh masyarakat dapat membawa payung.”, aku mendengar pria di televisi itu membacakan sesuatu. Ramalan cuaca. Sepertinya akan hujan. Seperti saat dia meninggalkanku dulu, sampai sekarang aku selalu berharap hujan akan mendatangkannya padaku.
“Kamu sudah makan Searan? Aku membawakan beberapa cake dari cafeku.”, Zen duduk disebelahku. Dia baru selesai mengeringkan rambutnya karena kehujanan. Tadi ia sempat mengomel karena aku tidak menjawab teleponnya.
“Sudah.”, ujarku singkat.
“Dengar temanku, bukan kamu saja merindukan Nerrisa. Aku juga. Kamu jangan seperti ini. Sudah sebulan kamu memutuskan untuk resign dan mengganggur.”, Zen terdengar sangat khawatir kepadaku.
“Besok, aku akan tes wawancara.”, jawabku singkat. Aku tidak sedang berusaha menghancurkan hidupku. Hanya saja aku sedang menunggu, panggilan kerja.
“Ya, semangatlah. Jika kau butuh apa-apa jangan sungkan beritahu aku.”, Zen mulai menyantap kue yang dia bawa dan tiba-tiba dia berteriak.
“Astaga !!! Kunci cafe tertinggal !!”, Dia mulai berkeliling apartemen, aku hanya melihatnya panik dengan heran.
“Astaga kenapa aku bisa lupa.”, dia cepat-cepat berlari menuju cafe sampai akhirnya jari kakinya tersantuk meja didepan kami. Dia tersungkur, aku melihat dia meringgis kesakitan.
“Hati-hati kalo jalan.”,
“Searan cepat-cepat ! ambil kunciku, masih tergantung di pintu aku sangat yakin.”, orang yang aku khawatirkan ternyata lebih khawatir dengan nasib kunci cafe yang tertinggal. Aku mengambil payung dan bergegas. Jaraknya tidak terlalu jauh dari apartemen kami, hanya butuh sekitar 5 menit untukku sampai.
Hari itu hujan cukup deras, jalanan juga tampak sepi karena telah malam. Aku telah berdiri di depan pintu cafe temanku. Namun tidak aku lihat kunci tergantung disana.
“Mungkin jatuh.”, batinku dan menyalakan senter dari handphoneku. Aku merunduk dan mulai berjalan pelan disekitar pintu.
“Mencari ini?”, suara wanita tepat di belakangku. Aku menoleh segera karena aku tau suara ini tapi tidak yakin.
“Nerrisa?”, ujarku. Aku mulai berdiri tegak. Tanganku bergerak sendiri. Menghempaskan payung yang kubawa dan mulai memeluknya erat-erat.
“Zen pasti melupakan kuncinya lagi. Untung aku yang menemukannya.”, dia terus berbicara meski telah aku dekap.
“Bodoh, aku merindukanmu.”, ujarku pelan.
“Sudah kubilang aku akan kembali menemuimu saat hujan.”, balasnya. Tangganya mulai membalas dekapanku. Cuaca dingin dari hujan deras tidak lagi kurasakan. Aku rindu perempuan ini.
Aku hampir tidak mempercayaimu lagi. Aku hampir mengeluh. Sekarang aku lega bisa memelukmu. Aku lega kau menepati janji itu. Janji bertemu saat hujan.
“Maaf, aku butuh waktu untuk meyakinkan penciptaku. Agar aku dapat menjadi sepertimu. Sekarang aku tidak punya apa-apa lagi. Aku akan seperti awal baru lagi.”, dia bercerita namun dekapan tidak kulepaskan.
“Iya, sekarang. Tetaplah disisiku sampai kapanpun. Aku akan berusahan menjagamu.”, jawabku dengan sungguh-sungguh.
Hujan hari ini adalah hujan terindah dalam hidupku. Karena dia menghantarkanku kembali bertemu dengan peri dari langit ini. Aku bertanya-tanya kenapa ia ingin menemuiku lagi saat hujan. Mungkinkah ia peri hujan ? Entahlah, satu yang sekarang aku ketahui. Bahwa perempuan ini akan kujaga dengan segenap jiwa dan ragaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar