Kamis, 23 Maret 2017

Untaian Takdir



Note : Aku jarang banget bikin flash-fiction hahaha terus tiba-tiba kangen nulis. :D  
Ini adalah tantangan nulis yang sudah 1000 tahun aku delay :( 
sedih........
#ACTChallenge .
Happy Reading :)

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

“Sudah nak, kamu jangan pulang lagi. Bapak akan siapkan tanggal pernikahan untuk kalian.”, Seketika kalimat itu menusuk ke dalam telingaku menjalar cepat sangat cepat sampai ke jantung.
Kurasakan perutku ikut berguncang. Aku tak tau. Binggung adalah kata tertepat untuk katakan.
Menempuh 2 hari perjalanan dari Ibu Kota aku menuju kota empunya Ampera. Niatku satu, aku ingin memperkenalkan diriku dan mengenal keluarganya. Seorang diri aku mengendari mobilku, tak ada satu pun firasat kalimat itu akan terlontar dari ayahnya.
Mataku mulai menatap gadis pujaanku tepat disamping ayahnya.
“Kamu sudah jauh-jauh datang ke Palembang. Niat baik jangan ditunda lagi. Menetaplah disini beberapa hari.” Belum sempat aku membalas kalimatnya tadi kini Bapak gadis pujaanku sudah mengeluarkan kata-kata baru.
“Sebenarnya, dari pada saya. Apakah adik telah siap?”, padanganku tak lepas dari Jingga, dia adalah wanita yang baru kukenal selama 2 bulan terkahir ini. Pertemuanku dengannya secara tak sengaja di salah satu restoran Jakarta tak kusangka mempererat benang merah antara aku dan dia.
Jingga tak membalas cepat pertanyaanku. Dia menoleh sesekali ke ayahnya lalu sesekali menatap aku. Entah apa yang terjadi, tak kusangka ayahnya akan berkata seperti itu.
“Jingga selalu percaya pada keputusan Bapak.”, kalimat singkat keluar dari mulut kecilnya. Jantungku tidak berfungsi normal sekarang. Jantungku mulai memompa darah tak beraturan. Aku seperti baru saja menelan mentah-mentah petasan yang sering kudengan saat malam tahun baru.
“Nak Damar, sekarang kamu istirahat. Biar Bapak yang urus semuanya.” Beliau mempersilahkanku untuk menempati rumah di sebrang rumah mereka. Jingga mengantarkanku. Tak lama dia datang lagi membawa selimut dan perlengkapan lain.
“Dek, kamu tau aku kesini awalnya niatku hanya untuk berkenalan dengan keluargamu.” Aku menatap langit senja. Kami duduk di teras rumah berdua. Aku rasa aku harus jujur tentang kondisiku sekarang.
“Iya mas, aku tau.”
“Ini dek.. mas cuma bisa kasih ini buat pernikahan kita. Maafin aku ya dek, pernikahan kita tidak bisa terlalu mewah.”, kuserahkan uang 6 juta rupiah yang kupunya. Kuletakkan uang itu di atas meja bundar di antara kami. Senilai itulah uang yang kupunya di kantongku. Aku merasa membuatnya sedikit kecewa.
“Mas, aku mau hidup bersamamu, menikahimu, karena aku ingin berjuang bersamamu.” Dia menggengamku erat, dari matanya aku sudah tau dia tulus mengatakan ini.
“Jingga, aku mohon.. meski kita berada dalam posisi terbawah nanti. Tetaplah bersamaku, jadi teman hidupku, berdua kita arungi dunia.” Aku menatapnya lekat-lekat, Jingga... satu nama yang aku harap selamanya akan berdampingan dengan namaku sampai habis hayat ini.
“Mas, kok kayak lagu ya ?”, dia tertawa kecil. Tawa nya adalah kebahagiaan spesial untukku.
 “Dek, aku tau ini sudah terlambat. Tapi aku ingin sekali melakukan ini padamu.” Aku tak tau bagaimana cara melakukan ini.  Aku keluarkan cincin yang telah lama kusimpan dalam kantongku.
“Jingga, kamu adalah wanita pertama yang membuatku tak ingin jauh darimu. Kamu juga wanita yang kuinginkan menjadi pendampingku sampai akhir hayat ini. Jingga, maukah kau menikah denganku?”
Hanya sekilas namun aku yakin, aku melihat air mata kebahagiaan dari matanya.  Dia tak menjawab namun hanya mengangguk pelan, tersenyum kearahku. Kusematkan cicin yang kubawa dari ibu kota di jari manisnya. Perjuanganku menahan malu mencari cincin ini seorang diri bukanlah apa-apa sekarang. Aku bahagia melihat senyumnya sore ini.
 Sejarah baru saja tertulis dalam kitab hidupku. Meski ini adalah bagian dari permainan takdir yang harus aku jalani, aku harap semua akan baik-baik saja.
****
Hari ini adalah harinya. Semua sudah berkumpul tepat 3 hari setelah aku disini. Perasaaanku campur aduk. Keluargaku yang datang dari ibu kota kaget mendengar aku akan menikah. Mereka tak bisa melarang niat baik ini. Jadilah mereka sekarang berkumpul disini. Dalam kehangatan keluarga acara pernikahan kami langsungkan. Semua sangat sederhana. Ruangan itu adalah ruang keluarga rumah Jingga tapi hiasan sederhana dari untaian bunga-bunga plastik dan tirai-tirai putih menjadikan ruangan kecil ini sangat terasa anggun.
Aku bersyukur untuk setiap detik-detik di hari ini. Saat ijab telah kuucapkan, para saksi memberikan kata sah untuk kami adalah momen yang aku bersumpah akan selalu aku ingat.
Aku menangis haru. Saat Jingga dengan pakaian pegantin warna pink salemnya datang mendekatiku. Aku sangat bahagia.
Kami telah duduk di kursi pelaminan sekarang aku berbisik pelan.
“Dek, setelah ini akan ada banyak hal yang akan kita lalui. Tetaplah kita bersama. Bahagiamu akan jadi bahagiaku dan dukamu akan jadi dukaku. Begitu juga sebaliknya.”
“Iya mas Damar. Bahagiamu akan jadi bahagiaku, dukamu akan jadi dukaku.
                      
Tuhan, walau apapun yang akan datang menerpa kami di depan nanti. Teguhkan hati kami, pererat benang merah yang Engkau sambungkan diantara kami. 

Aku ingin bersama dia, bukan hanya di dunia-Mu namun juga di alam kekekalan-Mu nanti.                                                                                                                                                                                                    


                                                                                                                                                                                                             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar