Keuraeyo nan nan kkumi isseoyo… Jeo chagapke so inneun unmyongiran
Byeogape tangdanghi majichi su isseoyo… Eonjenga na geu byeo geui neomgoseo
Suara itu samar-samar mengusik telinga Alisya.
Jeo haneureul nopi nareulsu isseoyo.. Ge mugeoun sesangdo nareul Mukkeulsus eoptjo nae sarme kkeutesse…
Seorang cewek dengan rambut dikuncir kuda, tanpa ragu menyenandungkan nada demi nada. Suaranya pelan, namun terdengar begitu merdu.
“Na…”, Alisya mencoba memanggil cewek itu dengan suara serak.
“Sya? Uda bangun lo?”, kata Allena dan langsung beranjak dari kurisnya. Diikuti dengan seorang cowok di belakang Allena.
“Lo ga kenapa-kenapa kan? Mana yang sakit?”, tanya cowok itu. Alisya menggeleng.
“Na, gue dirumah sakit apa?”, tanya Alisya.
“Cipto, dia yang bawa lo kesini, terus pihak rumah sakit nelpon bokap lo.`”, jawab Allena, dan melirik Evano disebelahnya.
“Bokap gue? Maksud lo?”, tanya Alisya khawatir. Allena menghela nafas.
“Sorry, gue yang certain semua, bokap lo marah banget ke gue, dia nganggep gue yang bikin lo pingsan, terus bokap lo nelpon dia.”, jelas Evano. Alisya menghela nafas.
“Sudahlah, cepet atau lambat juga bokap gue, pasti bakal tau.”, Alisya memalingkan wajahnya dari mereka berdua. Suasana jadi hening sejenak.
“Apa lo ga tau? kalo orang yang punya penyakit gagal ginjal itu ga boleh terlalu capek.”, tanya Evano hati-hati. Alisya menoleh kepadanya.
“Gue tau, gue sangat tahu tentang penyakit gue. Tapi gue ga mau nyerah sama takdir, gue harus bisa melewati takdir gue dan wujudin imipian gue.”, kata Alisya dengan mata berbinar.
“Impian?”, tanya Evano.
“Dia pengen jadi penari Internasional.”, sela Allena, dia tak ingin jadi kambing conggek.
“Kenapa?”. tanya Evano lagi.
“Waktu gue masih kecil, gue pernah nonton pertunjukkan balet internasional, gue langsung terkesima, dia disambut meriah sejak itu, gue bertekad, gue juga harus bisa jadi penari kayak dia.”. Alisya kembali bekata dengan mata berbinar. Evano terhenyak, dia terkesima melihat keteguhan Alisya. Hatinya bergetar, dia ingin membantu cewek ini, mewujudkan mimpinya.
*****
“Gelap sekali disekelilingku.”, batin Nadean. Samar-samar dia mendengar suara perempuan terisak. Dia menolehkan kepalanya pelan. Tak terlihat apapun.
“Dean..kamu sudah sadar nak?.”, seorang perempuan mengusap kepala Dean pelan.
“Ibu… kenapa ibu menaggis, bu.. kenapa semua jadi begitu gelap?”, Nadean panik.
“Kemarin, kamu kecelakaan nak…”, Ibu Nadean berbicara pelan.
“Mangkanya kamu jangan ngebantah! Sudah Ayah bilang jangan pergi ya jangan! Ini akibatnya!!”, sela Ayah Nadean. Nadean tertunduk. Dia menyentuh matanya yang diperban.
Tak lama seorang dokter masuk ke ruangan itu, sang dokter menyapa ramah.
“Hari ini , kita akan membuka perban matanya.”, lanjut sang dokter.
Dibantu asistennya, sang dokter perlahan melepas gulungan yang melingkari kepala Nadean.
“Sekarang coba perlahan buka matamu, pelan-pelan ya”, kata dokter itu. Nadean membuka perlahan kedua kelopak matanya. Gelap. Hitam. Masih saja sama.
“Bagaimana?”, tanya sang dokter. Ibu dan Ayah Nadean mulai cemas. Tiba-tiba Nadean menaggis.
“Bu, aku ga bisa liat apa-apa, semuanya gelap!”, Nadean mulai menjerit.
“Pak mari kita bicara di luar.”, pinta sang dokter, Ayah Nadean mengikuti.
“Dokter, ada apa ini?!”, tanya Ayah Nadean ,menguncang-nguncang tubuh dokter.
“Nampaknya saat kecelakaan, mata Nadean dimasuki banyak kerikil. Maaf sepertinya ini akan jadi buta permanen.”, jelas sang dokter dengan wajah bersalah.
Ibu Nadean, mulai kehilangan kesadaran. Ayah Nadean terhenyak melihat kenyataan bahwa Nadean, anak satu-satunya, buta.
****
Hari ini Alisya mulai tinggal dirumah sakit. Dia tak tega menolak permintaan Ayahnya. Hanya 2 minggu saja, setidaknya bukan satu bulan, karena harus mengikuti lomba itu. Dia telah mengatakan kepada Ayahnya bahwa dia ingin menjadi penari internasional, tapi Ayahnya tak member jawaban. Wajah Ayah Alisya sangat pucat dari kemarin. Sekarang dia tengah berkeliling rumah sakit karena bosan. Lalu tiba-tiba mata Alisya melihat orang yang sangat dikenalnya
“Dokter, ada apa ini?!”, seorang bapak-bapak menguncang-nguncang tubuh dokter.
“Nampaknya saat kecelakaan, mata Nadean dimasuki banyak kerikil. Maaf sepertinya ini akan jadi buta permanen.”, jelas sang dokter dengan wajah bersalah.
“Nadean?”, batin Alisya. Dia hendak berlari mendekati bapak-bapak itu, tapi tiba-tiba dia merasa sesak dan terjatuh di lantai.
****
“Sudah sadar?”, seorang dokter memeriksa keadaan Alisya.
“Diamlah di kamarmu, kau bisa pingsan lagi jika kau nekat.”,lanjutnya.
“Dok, jangan kasih tau Papa ya.. “, pinta Alisya dengan wajah penuh pengharapan.
“Iya, mangakanya kamu jangan keluyuran terus.”, uacap Dokter.
“Dok, sebenarnya apa yang terjadi apa saya?”, tanya Alisya lemah. Dokter namapak terdiam dia tak tau kata-kata apa yang bagus untuk disampaikan membuat Alisya heran.
“Katakan saja Dok, dari awal saya tau bahwa saya akan meninggal di usia muda.”, lanjut Alisya. Sang Dokter menghela nafas.
“Ginjalmu telah rusak parah, tubuhmu kekurangan air, itu kenapa kau sering pingsan. Tidak ada banyak waktu lagi, 7 hari lagi kamu akan menjalani operasi.”, jelas sang Dokter, dia yakin Alisya dapat menerima semua itu.
“Kemungkinan berhasilnya berapa Dok?.”, tanya Alisya perlahan.Dokter kembali diam.
“Kemungkinannnya memang kecil, tapi kami akan berusaha semaksimal kami.” Kata sang Dokter,.
“Ya, tolong ya Dok.”, ucap Alisya tersenyum lirih.
“Baiklah, kami permisi dulu ya.”, Sang Dokter berlalu bersama asisten perawatnya. Alisya terdiam, matanya menjadi panas, perlahan air matanya keluar.
“Selamat siang…”, seorang cowok tiba-tiba masuk ke kamar pasien VIP Alisya. Spontan Alisya mengusap air matanya dan menoleh kearah pintu.
“Kenapa lo? Nanggis?”, tanya cowok itu dan meletakkan bingkisan buah di meja.
“Ga, gue ga nanggis.”, sangkal Alisya. Cowok itu pun manggut-manggut, dia lalu menyeret kursi ke dekat ranjang Alisya. Alisya menyeregitkan keningnya.
“Mau ngapain lo kesini?.”, tanya Alisya.
“Nememuin lo..”, jawab Evano tersenyum manis. Alisya menyipitkan sebelah matanya.
“By the way, kita belum kenalan secara resmi. Gue Evano.”,kata Evano menyodorkan tangannya. Alisya menyambut tangan itu, dan menyebutkan namanya.
“Alisya? kok di kaset loh ‘Nay’?”, tanya Evano heran.
“Oh, itu nama belakang gue, Nayarra.”, jawab Alisya ringan. Evano kembali manggut.
“Cepet sembuh ya, biar lo bisa jadi rival gue di lomba itu.”, kata Evano.
Alisya terhenyak, dia teringat dengan operasi itu dan teringat dengan sahabatnya dulu, Nadean.
“Van, lo tau? Wings itu sebenarnya lagu untuk tari berpasangan. Tapi gue belum nememuin orang yang tepat.”, ujar Alisya lirih.
“Berpasangan? Kenapa ga sendirian aja?”, tanya Evano, Alisya tertawa kecil.
“WING itu impian gue, tarian yang menceritakan tentang seekor angsa yang berjuang terbang ke bulan dengan sayap yang tak terlalu kuat. Namun mendapat pinjaman sayap dari angsa lain.”, jelas Alisya dengan senyuman.
“Menarik, gimana kalo gue jadi pasangan lo? Gue pesimis dengan tarian gue. Please..”, pinta Evano. Dia lalu rapatkan kedua telapak tangannya ke depan mukanya. Alisya terkejut, dia diam, tertunduk memikirkan sesuatu agak lama dan akhirnya tersenyum tipis.
“Boleh aja, apalagi lo juga mahasiswa tari, pasti lebih hebat. Besok gue ajarin gerakkannya.”, jawab Alisya, Evano tersenyum lebar. Alisya ikut tersenyum.
“Gue akan bantu lo ngewujudin mimpi lo Sya, pasti.”, batin Evano.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar